Sungai Musi menghubungkan kota Palembang bagian ulu dengan ilir. Sungai yang merupakan salah satu sungai terpanjang di Indonesia ini mempunyai keunikan tersendiri. Kehidupan masyarakat tergambar di sungai Musi. Ada pasar terapung, counter pulsa terapung, rumah makan terapung hingga pom bensin terapung. Sekarang ini sudah tersedia banyak transportasi sungai, baik yang khas daerah seperti ketek (perahu kecil) hingga kapal Putri Kembang Dadar. Bila berkunjung ke Palembang tidak ke Sungai Musi, sama saja belum pernah ke Palembang.
Di atas sungai Musi ini membentang Jembatan Ampera yang terkenal. Di salah satu pinggiran sungai, ada Benteng Kuto Besak (BKB) yang merupakan salah satu obyek wisata sejarah. Bila menyusuri sungai Musi, biasanya sekalian mampir ke Pulau Kemaro, pulau yang merupakan delta sungai Musi. Pulau Kemaro mempunyai sejarah dan kisah yang unik dan legendaris. Bahkan setiap kali event Cap Go Me, masyarakat keturunan Tionghoa banyak kegiatan di Pulau ini. Ya, Sungai Musi, sungai yang menarik untuk ditelusuri.
wellcome
Sabtu, 21 April 2012
Jumat, 20 April 2012
KESENIAN KUDA LUMPING
KESENIAN GITAR TUNGGAL SUMSEL
Selasa, 17 April 2012
DONGENG PULAU KEMARO (UNTUK ANAK)
Konon dahulu kala, di Bhumi Sriwijaya memerintahlah seorang raja yang adil dan bijak sana. Raja ini memiliki seorang puteri yang cantik jelita bernama Siti Fatimah. Banyak pemuda-pemuda tampan dari berbagai penjuru nusantara datang, namun tidak satu pun yang bisa menaklukkan hati puteri Siti Fatimah.
Namun pada suatu hari, datanglah sebuah kapal besar dari negeri Cina, bersama dengan rombongan yang dipimpin seorang pangeran bernama Tam BUn An.
“Hmmm… Haiya…. Ini ternyata kerajaan Sriwijaya yang terkenal itu. Kotanya memang megah, penduduknya ramah-ramah dan makanan pempeknya uenak sekali, ya. Haiya….” Kata sang pangeran.
“Pangeran Tam Bun An mau langsung menemui puteri Siti Fatimah?” Tanya sang nahkoda kapal.
“Iyalah. Aku kan jauh-jauh ke Bhumi Sriwijaya ini karena tertarik kecantikan sang puteri Siti Fatimah, haruslah aku datang menemuinya sesegera mungkin.” Kata pangeran Tam Bun An.
“Ayo, pengawal. Kita langsung ke istana untuk menemui puteri raja. Siapkan barongsai dan musik perkusi yang meriah untuk menarik hatinya.” Kata sang nahkoda kapal.
Lalu rombongan pangeran dari Cina ini masuk ke kota Sriwijaya dengan meriah, di depan ada barongsai singa dengan dua orang pembawa pangeran Tam Bun An dan sang nahkoda. Di belakangnya ada 10 orang pengawal dengan barongsai naganya. Kemudian yang terakhir adalah rombongan 10 orang membawa serta menabuh gendang dan perkusi lainnya.
Rombongan barongsai ini memainkan musik dan atraksinya tepat di depan istana raja Sriwijaya dan keramaian itu membuat puteri Siti Fatimah tertarik melihatnya.
“Dayang, ada apa gerangan di luar sana? Seperti ada keramaian dan musik yang menarik?” Kata sang puteri.
“Sepertinya ada rombongan penari barongsai tuan puteri. Kabarnya sudah dua hari mereka berlabuh di dermaga dipimpin oleh pangeran tampan dari Cina.” Kata si dayang.
“Oh, aku ingin sekali melihat atraksi mereka dayang. Mari kita ke pintu gerbang!” Dan puteri Siti Fatimah bersama dayang serta beberapa pengawal menonton pertunjukan barongsai itu sambil bertepuk tangan senang sekali.
“Wah, tarian dan gerakan silat serta musik kalian begitu indah sekali, dari manakah gerangan tuan?” Tanya sang puteri.
“Haiya..Saya Tam Bun An dari negeri Cina, ingin sekali bertemu dengan puteri Siti Fatimah yang cantik jelita. Segala musik dan gerak tari serta gerakan kung-fu yang tadi kami peragakan, semuanya untuk dipersembahkan pada sang puteri jelita…Haiya..”
“Oh, terima kasih pangeran tampan. Kalau boleh saya tahu apakah maksud kedatangan pangeran ke mari ?” Tanya sang puteri dengan pipi merona merah.
“Haiya….Saya datang kemari hanya untuk satu tujuan menemui sang puteri Siti Fatimah yang kabarnya seperti bidadari. Ternyata kabar itu benar sekali, saya malahan seperti melihat 7 bidadari dari kahyangan. Haiya…” Sang pangeran merayu, membuat puteri tambah malu-malu. Begitu banyak pangeran di nusantara yang menyatakan rasa suka, namun baru sekali ini hati puteri Siti Fatimah menjadi bergelora oleh rasa cinta.
Seperti sudah ada perasaan kenal lama, keduanya pun saling suka dan dalam 3 kali pertemuan bertekad menyatukan cinta.
Lalu ada bangsawan istana yang pernah ditolak cintanya oleh Siti Fatimah iri hati dan memberitahukan ke raja tentang hal ini. Dia mengatakan bahwa sang pangeran mau membawa puteri pergi ke negeri Cina.
“Cepat panggil pangeran Cina itu menghadapku!” Kata Raja Bhumi Sriwijaya.
“Hamba menghadap raja.” Kata sang pangeran Cina.
“Apa benar kau dan puteriku Siti Fatimah saling mencinta?”
“Benar raja. Hamba benar-benar mencintai puteri raja yang gagah perkasa.”
“Anak muda, adat istiadat kita berbeda dan beta tidak bersedia anakku kau bawa ke negeri Cina!” Kata sang Raja.
“Haiya…Saya sudah belajar adat istiadat sini raja dan saya bersedia tinggal dan bekerja dagang di Bhumi Sriwijaya duhai raja.” Sang pangeran Cina menyanggupi.
“Kalau begitu duduk perkaranya. Baiklah, kau boleh menjadi menantuku dengan syarat, kau memberikan uang mahar sejumlah 9 guci besar berisi emas untuk meminang puteriku.” Kata sang raja.
“Baiklah raja, permintaan raja akan saya sampaikan.”
Lalu pangeran membuat surat yang dititipkan ke merpati pos yang terbang sampai ke istana orang tuanya di negeri Cina.
Ayahanda sang pangeran mengirim surat balik dan menyatakan menyanggupinya.
Lalu bangsawan Cina itu mengirimkan 9 buah guci berisi emas batangan. Akan tetapi supaya jangan diincar oleh penjahat bajak laut dari Somalia, maka ayah si pangeran memerintahkan, “Masukkan sayur-mayur di bagian paling atas guci-guci itu, supaya para bajak laut Somalia tidak tertarik merampok dan menguasai kapal kita”.
“Perintah dilaksanakan tuan!” Kata si pelayan bangsawan Cina.
Dan 2 bulan kemudian, sampailah kapal beserta 9 guci itu ke Bhumi Sriwijaya. Pangeran dengan bahagia menyampaikan kabar itu pada puteri Siti Fatimah dan ayahandanya.
“Haiya…Sembilan guci kiriman ayahanda sudah datang tuanku Raja. Mari kita ke kapal untuk melihatnya.”
“Mari para pengawal dan puteriku. Kita pergi ke dermaga.” Kata sang raja.
“Haiya…Itu guci ada 9 dan besar-besar sekali. Itu persembahan dari papa dan mama saya tuanku raja..” Si pangeran Tam Bun An pun tertawa senang.
Tetapi saat dia membuka ke 9 guci tersebut, dia melihat isinya hanya sayur-sayuran yang sudah membusuk.
“Ha? Kenapa papa dan mama tega berbuat seperti ini? Papa dan mama berjanji kirimkan 9 guci berisi emas untuk meminang kekasihku Siti Fatimah? Tetapi kenapa dikirimkan sayur-sayuran dalam guci-guci ini? Maaf, saya malu tuanku raja. Biarlah saya buang guci-guci ini ke Sungai Musi. Papa dan mama jahat sekali dengan aku anaknya”
“Sudahlah, kakanda. Janganlah berburuk sangka dengan ayahanda di Cina sana. Mungkin saja ada orang lain yang jahat menukar isinya dengan sayur-sayuran. Jangan marah dengan orang tua kakanda.” Kata sang puteri menyabarkannya.
“Tidak bisa! Ini benar-benar kelewatan. Saya benci pada papa dan mama saya. Saya buang saja guci-guci bersayur busuk itu!” Sang pangeran pun melempar guci-guci yang berat itu ke sungai.
Satu! Dua! Tiga!4,5,6,7,8…….Dan Saat guci ke-9 dia angkat, pangeran Tam Bun An sudah kecapaian. Lalu guci terlepas dan pecah di lantai kapal.
“Olala…..Tampaklah diantara pecahan guci itu emas batangan yang berkilauan.
“Ha? Emas batangan?”
“Iya, kakanda, ternyata benar papa dan mama kakanda mengirimkan emas-emas batangan di guci-guci lainnya juga. Sayur-sayuran tadi hanya untuk mengelabui saja kakanda.” Kata puteri Siti Fatimah.
“Ya, sudahlah pangeran. Saya percaya akan niat baik orang tuamu. Biarlah saja guci-guci yang sudah jatuh ke Sungai Musi itu. Tanpa itu semua kau masih kuijinkan menikahi puteriku.” Kata Raja.
“Tidak tuanku Raja. Saya menyesal telah berburuk sangka dengan papa dan mama di Cina. Saya telah durhaka memarahi mereka. Biarlah saya mengambil kembali semua emas-emas yang saya buang ke sungai itu. Tunggu aku adinda.” Dan walaupun sudah berusaha dicegah oleh puteri dan pengawal istana pangeran Tam Bun An tetap terjun ke Sungai Musi.
Satu jam, dua jam, setengah hari pangeran Tam Bun An tidak muncul-muncul lagi.
“Kanda, saya sangat mencintai kakanda. Saya akan menyusul kakanda mencari emas itu. Bila saya tidak kembali dan muncul endapan tanah di tengah sungai ini, anggaplah itu tempat kami berdua memadu janji.” Lalu tanpa diduga si puteri pun melompat ke Sungai Musi dan tidak muncul-muncul lagi.
Bertahun-tahun kemudian, lambat laun muncullah endapan tanah di tempat kedua kekasih itu terjun di tengah Sungai Musi.
Di sana dibuatkan oleh penduduk setempat sebuah kelenteng dan sebuah mesjid tempat sembahyang yang berdampingan.
Setiap perayaan Cap Go Meh pulau itu ramai dikunjungi warga Palembang.
Nah, adik-adik, dari cerita ini dapat diambil pelajaran adalah: Jangan sekali-sekali menganggap jelek pemberian orang tua kepada kita dengan marah-marah dan mencaci makinya. Mungkin saja menurut kalian pemberian atau didikannya tidak cocok dengan yang kau inginkan. Akan tetapi pasti ada nilai kebaikan di dalamnya yang walaupun tidak langsung terlihat manfaatnya saat ini, tetapi akan tampak bersinar terang-benderang pada waktunya nanti.
Ingatlah! Semua orang tua yang baik pasti akan memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya.
Sekian dan terima kasih.
Namun pada suatu hari, datanglah sebuah kapal besar dari negeri Cina, bersama dengan rombongan yang dipimpin seorang pangeran bernama Tam BUn An.
“Hmmm… Haiya…. Ini ternyata kerajaan Sriwijaya yang terkenal itu. Kotanya memang megah, penduduknya ramah-ramah dan makanan pempeknya uenak sekali, ya. Haiya….” Kata sang pangeran.
“Pangeran Tam Bun An mau langsung menemui puteri Siti Fatimah?” Tanya sang nahkoda kapal.
“Iyalah. Aku kan jauh-jauh ke Bhumi Sriwijaya ini karena tertarik kecantikan sang puteri Siti Fatimah, haruslah aku datang menemuinya sesegera mungkin.” Kata pangeran Tam Bun An.
“Ayo, pengawal. Kita langsung ke istana untuk menemui puteri raja. Siapkan barongsai dan musik perkusi yang meriah untuk menarik hatinya.” Kata sang nahkoda kapal.
Lalu rombongan pangeran dari Cina ini masuk ke kota Sriwijaya dengan meriah, di depan ada barongsai singa dengan dua orang pembawa pangeran Tam Bun An dan sang nahkoda. Di belakangnya ada 10 orang pengawal dengan barongsai naganya. Kemudian yang terakhir adalah rombongan 10 orang membawa serta menabuh gendang dan perkusi lainnya.
Rombongan barongsai ini memainkan musik dan atraksinya tepat di depan istana raja Sriwijaya dan keramaian itu membuat puteri Siti Fatimah tertarik melihatnya.
“Dayang, ada apa gerangan di luar sana? Seperti ada keramaian dan musik yang menarik?” Kata sang puteri.
“Sepertinya ada rombongan penari barongsai tuan puteri. Kabarnya sudah dua hari mereka berlabuh di dermaga dipimpin oleh pangeran tampan dari Cina.” Kata si dayang.
“Oh, aku ingin sekali melihat atraksi mereka dayang. Mari kita ke pintu gerbang!” Dan puteri Siti Fatimah bersama dayang serta beberapa pengawal menonton pertunjukan barongsai itu sambil bertepuk tangan senang sekali.
“Wah, tarian dan gerakan silat serta musik kalian begitu indah sekali, dari manakah gerangan tuan?” Tanya sang puteri.
“Haiya..Saya Tam Bun An dari negeri Cina, ingin sekali bertemu dengan puteri Siti Fatimah yang cantik jelita. Segala musik dan gerak tari serta gerakan kung-fu yang tadi kami peragakan, semuanya untuk dipersembahkan pada sang puteri jelita…Haiya..”
“Oh, terima kasih pangeran tampan. Kalau boleh saya tahu apakah maksud kedatangan pangeran ke mari ?” Tanya sang puteri dengan pipi merona merah.
“Haiya….Saya datang kemari hanya untuk satu tujuan menemui sang puteri Siti Fatimah yang kabarnya seperti bidadari. Ternyata kabar itu benar sekali, saya malahan seperti melihat 7 bidadari dari kahyangan. Haiya…” Sang pangeran merayu, membuat puteri tambah malu-malu. Begitu banyak pangeran di nusantara yang menyatakan rasa suka, namun baru sekali ini hati puteri Siti Fatimah menjadi bergelora oleh rasa cinta.
Seperti sudah ada perasaan kenal lama, keduanya pun saling suka dan dalam 3 kali pertemuan bertekad menyatukan cinta.
Lalu ada bangsawan istana yang pernah ditolak cintanya oleh Siti Fatimah iri hati dan memberitahukan ke raja tentang hal ini. Dia mengatakan bahwa sang pangeran mau membawa puteri pergi ke negeri Cina.
“Cepat panggil pangeran Cina itu menghadapku!” Kata Raja Bhumi Sriwijaya.
“Hamba menghadap raja.” Kata sang pangeran Cina.
“Apa benar kau dan puteriku Siti Fatimah saling mencinta?”
“Benar raja. Hamba benar-benar mencintai puteri raja yang gagah perkasa.”
“Anak muda, adat istiadat kita berbeda dan beta tidak bersedia anakku kau bawa ke negeri Cina!” Kata sang Raja.
“Haiya…Saya sudah belajar adat istiadat sini raja dan saya bersedia tinggal dan bekerja dagang di Bhumi Sriwijaya duhai raja.” Sang pangeran Cina menyanggupi.
“Kalau begitu duduk perkaranya. Baiklah, kau boleh menjadi menantuku dengan syarat, kau memberikan uang mahar sejumlah 9 guci besar berisi emas untuk meminang puteriku.” Kata sang raja.
“Baiklah raja, permintaan raja akan saya sampaikan.”
Lalu pangeran membuat surat yang dititipkan ke merpati pos yang terbang sampai ke istana orang tuanya di negeri Cina.
Ayahanda sang pangeran mengirim surat balik dan menyatakan menyanggupinya.
Lalu bangsawan Cina itu mengirimkan 9 buah guci berisi emas batangan. Akan tetapi supaya jangan diincar oleh penjahat bajak laut dari Somalia, maka ayah si pangeran memerintahkan, “Masukkan sayur-mayur di bagian paling atas guci-guci itu, supaya para bajak laut Somalia tidak tertarik merampok dan menguasai kapal kita”.
“Perintah dilaksanakan tuan!” Kata si pelayan bangsawan Cina.
Dan 2 bulan kemudian, sampailah kapal beserta 9 guci itu ke Bhumi Sriwijaya. Pangeran dengan bahagia menyampaikan kabar itu pada puteri Siti Fatimah dan ayahandanya.
“Haiya…Sembilan guci kiriman ayahanda sudah datang tuanku Raja. Mari kita ke kapal untuk melihatnya.”
“Mari para pengawal dan puteriku. Kita pergi ke dermaga.” Kata sang raja.
“Haiya…Itu guci ada 9 dan besar-besar sekali. Itu persembahan dari papa dan mama saya tuanku raja..” Si pangeran Tam Bun An pun tertawa senang.
Tetapi saat dia membuka ke 9 guci tersebut, dia melihat isinya hanya sayur-sayuran yang sudah membusuk.
“Ha? Kenapa papa dan mama tega berbuat seperti ini? Papa dan mama berjanji kirimkan 9 guci berisi emas untuk meminang kekasihku Siti Fatimah? Tetapi kenapa dikirimkan sayur-sayuran dalam guci-guci ini? Maaf, saya malu tuanku raja. Biarlah saya buang guci-guci ini ke Sungai Musi. Papa dan mama jahat sekali dengan aku anaknya”
“Sudahlah, kakanda. Janganlah berburuk sangka dengan ayahanda di Cina sana. Mungkin saja ada orang lain yang jahat menukar isinya dengan sayur-sayuran. Jangan marah dengan orang tua kakanda.” Kata sang puteri menyabarkannya.
“Tidak bisa! Ini benar-benar kelewatan. Saya benci pada papa dan mama saya. Saya buang saja guci-guci bersayur busuk itu!” Sang pangeran pun melempar guci-guci yang berat itu ke sungai.
Satu! Dua! Tiga!4,5,6,7,8…….Dan Saat guci ke-9 dia angkat, pangeran Tam Bun An sudah kecapaian. Lalu guci terlepas dan pecah di lantai kapal.
“Olala…..Tampaklah diantara pecahan guci itu emas batangan yang berkilauan.
“Ha? Emas batangan?”
“Iya, kakanda, ternyata benar papa dan mama kakanda mengirimkan emas-emas batangan di guci-guci lainnya juga. Sayur-sayuran tadi hanya untuk mengelabui saja kakanda.” Kata puteri Siti Fatimah.
“Ya, sudahlah pangeran. Saya percaya akan niat baik orang tuamu. Biarlah saja guci-guci yang sudah jatuh ke Sungai Musi itu. Tanpa itu semua kau masih kuijinkan menikahi puteriku.” Kata Raja.
“Tidak tuanku Raja. Saya menyesal telah berburuk sangka dengan papa dan mama di Cina. Saya telah durhaka memarahi mereka. Biarlah saya mengambil kembali semua emas-emas yang saya buang ke sungai itu. Tunggu aku adinda.” Dan walaupun sudah berusaha dicegah oleh puteri dan pengawal istana pangeran Tam Bun An tetap terjun ke Sungai Musi.
Satu jam, dua jam, setengah hari pangeran Tam Bun An tidak muncul-muncul lagi.
“Kanda, saya sangat mencintai kakanda. Saya akan menyusul kakanda mencari emas itu. Bila saya tidak kembali dan muncul endapan tanah di tengah sungai ini, anggaplah itu tempat kami berdua memadu janji.” Lalu tanpa diduga si puteri pun melompat ke Sungai Musi dan tidak muncul-muncul lagi.
Bertahun-tahun kemudian, lambat laun muncullah endapan tanah di tempat kedua kekasih itu terjun di tengah Sungai Musi.
Di sana dibuatkan oleh penduduk setempat sebuah kelenteng dan sebuah mesjid tempat sembahyang yang berdampingan.
Setiap perayaan Cap Go Meh pulau itu ramai dikunjungi warga Palembang.
Nah, adik-adik, dari cerita ini dapat diambil pelajaran adalah: Jangan sekali-sekali menganggap jelek pemberian orang tua kepada kita dengan marah-marah dan mencaci makinya. Mungkin saja menurut kalian pemberian atau didikannya tidak cocok dengan yang kau inginkan. Akan tetapi pasti ada nilai kebaikan di dalamnya yang walaupun tidak langsung terlihat manfaatnya saat ini, tetapi akan tampak bersinar terang-benderang pada waktunya nanti.
Ingatlah! Semua orang tua yang baik pasti akan memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya.
Sekian dan terima kasih.
CERITA ANTU AYEK (HANTU SUNGAI)
Sumatera Selatan merupakan wilayah yang banyak dialiri sungai-sungai. Setidaknya ada sembilan sungai besar yang mengalir di propinsi ini, sehingga gelar lain propinsi ini adalah Negeri Batanghari Sembilan. Batanghari dalam bahasa melayu Palembang diartikan sebagai sungai besar. Nah, ada banyak hikayat atau cerita yang berkembang di masyarakat yang mengiringi keberadaan sungai-sungai tersebut. Seperti legenda cinta Pulau Kemaro di sungai Musi. Cerita lain yang aku kenal di kampungku adalah legenda Antu Ayek yang sering kudengar semasa kanak-kanak, entah adakah kisah ini di daerah lain. Antu Ayek dalam bahasa Indonesia berarti Hantu Air. Penasaran? Baca dong posting ini sampai selesai.
Konon kabarnya, dahulu kala hiduplah seorang gadis dari keluarga sederhana bernama Juani. Juani merupakan gadis kampung yang elok rupawan, berkulit kuning langsat dan rambut panjangnya yang hitam lebat. Keelokan rupa Gadis Juani sudah begitu terkenal di kalangan masyarakat. Sehingga wajar kiranya jika banyak bujang yang berharap bisa duduk bersanding dengannya. Namun apalah daya, Gadis Juani belum mau menentukan pilihan hati kepada satu bujang pun di kampungnya. Hingga, pada suatu masa, bapak Gadis Juani terpaksa menerima pinangan dari Bujang Juandan, karena terjerat hutang dengan keluarga Bujang Juandan. Bujang Juandan adalah pemuda dari keluarga kaya raya, namun yang menjadi masalah adalah Bujang Juandan bukanlah pemuda tampan. Bahkan tidak sekadar kurang tampan, Bujang Juandan pun menderita penyakit kulit di sekujur tubuhnya, sehingga ia pun dikenal sebagai Bujang Kurap.
Mendengar kabar itu, Gadis Juani pun bersedih hati. Ia hendak menolak namun tak kuasa karena kasihan kepada bapaknya. Berhari-hari ia menangisi nasibnya yang begitu malang. Namun apa hendak dikata, pesta pernikahan pun sudah mulai dipersiapkan. Orang sekampung ikut sibuk menyiapkan upacara perkawinan Gadis Juani dan Bujang Juandan. Akhirnya malam perkawinan itu pun tiba, Gadis Juani yang cantik dipakaikan aesan penganten yang begitu anggun menunggu di kamar tidurnya sambil berurai air mata.
Ketika orang serumah turun menyambut kedatangan arak-arakan rombongan Bujang Juandan, hati Gadis Juani semakin hancur. Di tengah kekalutan pikiran, ia pun mengambil keputusan, dengan berurai air mata ia keluar lewat pintu belakang dan berlari menuju sungai. Akhirnya dengan berurai air mata Gadis Juani pun mengakhiri hidupnya dengan terjun ke sungai. Kematiannya yang penuh derita menjadikannya arwah penunggu sungai yang dikenal sebagai Antu Ayek yang sering mencari korban anak-anak.
Begitulah asal mula hikayat Antu Ayek di daerahku. Meski kisah ini sangat “hidup” di tengah masyarakat, aku pribadi menilai kisah ini hanya untuk menakuti anak-anak kecil yang belum pandai berenang agar tidak sembarangan bermain sendiri di sungai. Karena tidak sedikit nyawa anak-anak yang melayang akibat tenggelam di sungai. Lucunya, semasa kecil aku sering diajarkan mantera pengusir Antu Ayek oleh orang-orang tua bilamana akan ke kayek (pergi ke sungai). “Nyisih kau Gadis Juani, Bujang Juandan nak ke kayek” (Menyingkirlah engkau gadis Juani, Bujang Juandan hendak turun ke sungai), konon kalau kita baca syair itu Antu Ayek akan menjauh karena enggan bertemu si Bujang Kurap hehe…
Konon kabarnya, dahulu kala hiduplah seorang gadis dari keluarga sederhana bernama Juani. Juani merupakan gadis kampung yang elok rupawan, berkulit kuning langsat dan rambut panjangnya yang hitam lebat. Keelokan rupa Gadis Juani sudah begitu terkenal di kalangan masyarakat. Sehingga wajar kiranya jika banyak bujang yang berharap bisa duduk bersanding dengannya. Namun apalah daya, Gadis Juani belum mau menentukan pilihan hati kepada satu bujang pun di kampungnya. Hingga, pada suatu masa, bapak Gadis Juani terpaksa menerima pinangan dari Bujang Juandan, karena terjerat hutang dengan keluarga Bujang Juandan. Bujang Juandan adalah pemuda dari keluarga kaya raya, namun yang menjadi masalah adalah Bujang Juandan bukanlah pemuda tampan. Bahkan tidak sekadar kurang tampan, Bujang Juandan pun menderita penyakit kulit di sekujur tubuhnya, sehingga ia pun dikenal sebagai Bujang Kurap.
Mendengar kabar itu, Gadis Juani pun bersedih hati. Ia hendak menolak namun tak kuasa karena kasihan kepada bapaknya. Berhari-hari ia menangisi nasibnya yang begitu malang. Namun apa hendak dikata, pesta pernikahan pun sudah mulai dipersiapkan. Orang sekampung ikut sibuk menyiapkan upacara perkawinan Gadis Juani dan Bujang Juandan. Akhirnya malam perkawinan itu pun tiba, Gadis Juani yang cantik dipakaikan aesan penganten yang begitu anggun menunggu di kamar tidurnya sambil berurai air mata.
Ketika orang serumah turun menyambut kedatangan arak-arakan rombongan Bujang Juandan, hati Gadis Juani semakin hancur. Di tengah kekalutan pikiran, ia pun mengambil keputusan, dengan berurai air mata ia keluar lewat pintu belakang dan berlari menuju sungai. Akhirnya dengan berurai air mata Gadis Juani pun mengakhiri hidupnya dengan terjun ke sungai. Kematiannya yang penuh derita menjadikannya arwah penunggu sungai yang dikenal sebagai Antu Ayek yang sering mencari korban anak-anak.
Begitulah asal mula hikayat Antu Ayek di daerahku. Meski kisah ini sangat “hidup” di tengah masyarakat, aku pribadi menilai kisah ini hanya untuk menakuti anak-anak kecil yang belum pandai berenang agar tidak sembarangan bermain sendiri di sungai. Karena tidak sedikit nyawa anak-anak yang melayang akibat tenggelam di sungai. Lucunya, semasa kecil aku sering diajarkan mantera pengusir Antu Ayek oleh orang-orang tua bilamana akan ke kayek (pergi ke sungai). “Nyisih kau Gadis Juani, Bujang Juandan nak ke kayek” (Menyingkirlah engkau gadis Juani, Bujang Juandan hendak turun ke sungai), konon kalau kita baca syair itu Antu Ayek akan menjauh karena enggan bertemu si Bujang Kurap hehe…
Senin, 16 April 2012
LEGENDA PULAU KEMARO
Kalau kita menyebut kata Palembang, kita pasti akan langsung mengaitkannya dengan empek-empek, Sungai Musi, Jembatan Ampera dan satu tempat yang sedang naik daun adalah Jakabaring Sport City tempat berlangsungnya pesta olahraga SEA Games XXVI bulan November yang lalu. Padahal di Palembang sendiri ada banyak tempat yang wajib untuk dikunjungi, salah satunya yang sangat saya rekomendasikan adalah Pulau Kemaro.
Pulau Kemaro sendiri sebenarnya merupakan sebuah delta yang berada di perairan Sungai Musi. Konon kabarnya pulau ini tidak pernah terendam air meskipun sungai Musi sedang pasang tinggi sekalipun. Karena itulah pulau ini dinamakan Pulau Kemaro, yang berarti tidak pernah tergenang air. Ada sebuah legenda di Pulau Kemaro tentang Putri Raja Palembang bernama Siti Fatimah yang di peristri oleh saudagar asal Tionghoa bernama Tan Bun An. Setelah menikah Tan Bun An mengajak istrinya melihat kampung halamannya. Dan saat akan kembali ke Palembang, mereka dihadiahi beberapa buah guci. Sesampainya di perairan Sungai Musi didekat Pulau Kemaro, Tan Bun An ingin melihat isi hadiah yang diberikan kepada mereka, ternyata isi guci tersebut adalah sawi asin. Tan Bun An membuang guci-guci tersebut ke sungai Musi dan saat ingin membuang guci yang terakhir , guci tersebut terjatuh dan pecah. Ternyata ada kepingan koin emas dibawah tumpukan sawi asin tersebut. Tan Bun An langsung menceburkan diri ke Sungai Musi untuk mencari guci guci yang sudah dibuangnya ke sungai. Seorang pengawal Tan Bun An ikut menyelam untuk membantu. Melihat suaminya terjun ke sungai dan tidak muncul, Siti Fatimah memutuskan untuk terjun ke Sungai Musi untuk mencari sang suami. Dan mereka bertigapun tidak pernah muncul dipermukaan. Ada tiga gundukan yang terdapat di Pulau kemaro yang dipercaya sebagai makam Siti Fatimah, Tan Bun An dan seorang pengawalnya.
Di Pulau Kemaro sendiri terdapat tempat ibadah masyarakat etnis Tionghoa, sebuah pagoda berlantai sembilan dan juga patung Budha berwarna keemasan. Setiap Tahun Baru Imlek, masyarakat etnis Tionghoa dari berbagai tempat dan negara berdatangan ke Pulau Kemaro dalam perayaan Cap Go Meh. Untuk yang bukan termasuk etnis Tionghoa tidak perlu khawatir, karena Pulau Kemaro terbuka untuk siapa saja yang ingin berkunjung. Tentu saja kita harus saling menghormati kepercayaan masing-masing.
kuburan di pulau kemaro
Untuk menuju Pulau Kemaro, saya sarankan berangkat dari Benteng Kuto Besak. Kita bisa memilih naik speed boat atau perahu motor yang biasa disebut masyarakat setempat dengan sebutan ketek. Saya dan teman-teman lebih suka menuju Pulau Kemaro dengan menggunakan ketek. Setiap orang dikenakan biaya Rp.10.000,- untuk perjalanan pulang pergi. Dengan menggunakan ketek, kita bisa tiba di Pulau Kemaro dalam waktu lebih kurang 15 menit. Sepanjang perjalanan menuju pulau, kita bisa melihat Jembatan Ampera dari bawah sungai, lalu lintas sungai Musi yang cukup ramai dan juga kehidupan masyarakat dipesisir Sungai Musi. Jadi bila datang ke kota Palembang, pastikan Pulau kemaro ada dalam list tempat yang harus didatangi.
Pulau Kemaro sendiri sebenarnya merupakan sebuah delta yang berada di perairan Sungai Musi. Konon kabarnya pulau ini tidak pernah terendam air meskipun sungai Musi sedang pasang tinggi sekalipun. Karena itulah pulau ini dinamakan Pulau Kemaro, yang berarti tidak pernah tergenang air. Ada sebuah legenda di Pulau Kemaro tentang Putri Raja Palembang bernama Siti Fatimah yang di peristri oleh saudagar asal Tionghoa bernama Tan Bun An. Setelah menikah Tan Bun An mengajak istrinya melihat kampung halamannya. Dan saat akan kembali ke Palembang, mereka dihadiahi beberapa buah guci. Sesampainya di perairan Sungai Musi didekat Pulau Kemaro, Tan Bun An ingin melihat isi hadiah yang diberikan kepada mereka, ternyata isi guci tersebut adalah sawi asin. Tan Bun An membuang guci-guci tersebut ke sungai Musi dan saat ingin membuang guci yang terakhir , guci tersebut terjatuh dan pecah. Ternyata ada kepingan koin emas dibawah tumpukan sawi asin tersebut. Tan Bun An langsung menceburkan diri ke Sungai Musi untuk mencari guci guci yang sudah dibuangnya ke sungai. Seorang pengawal Tan Bun An ikut menyelam untuk membantu. Melihat suaminya terjun ke sungai dan tidak muncul, Siti Fatimah memutuskan untuk terjun ke Sungai Musi untuk mencari sang suami. Dan mereka bertigapun tidak pernah muncul dipermukaan. Ada tiga gundukan yang terdapat di Pulau kemaro yang dipercaya sebagai makam Siti Fatimah, Tan Bun An dan seorang pengawalnya.
Di Pulau Kemaro sendiri terdapat tempat ibadah masyarakat etnis Tionghoa, sebuah pagoda berlantai sembilan dan juga patung Budha berwarna keemasan. Setiap Tahun Baru Imlek, masyarakat etnis Tionghoa dari berbagai tempat dan negara berdatangan ke Pulau Kemaro dalam perayaan Cap Go Meh. Untuk yang bukan termasuk etnis Tionghoa tidak perlu khawatir, karena Pulau Kemaro terbuka untuk siapa saja yang ingin berkunjung. Tentu saja kita harus saling menghormati kepercayaan masing-masing.
kuburan di pulau kemaro
Untuk menuju Pulau Kemaro, saya sarankan berangkat dari Benteng Kuto Besak. Kita bisa memilih naik speed boat atau perahu motor yang biasa disebut masyarakat setempat dengan sebutan ketek. Saya dan teman-teman lebih suka menuju Pulau Kemaro dengan menggunakan ketek. Setiap orang dikenakan biaya Rp.10.000,- untuk perjalanan pulang pergi. Dengan menggunakan ketek, kita bisa tiba di Pulau Kemaro dalam waktu lebih kurang 15 menit. Sepanjang perjalanan menuju pulau, kita bisa melihat Jembatan Ampera dari bawah sungai, lalu lintas sungai Musi yang cukup ramai dan juga kehidupan masyarakat dipesisir Sungai Musi. Jadi bila datang ke kota Palembang, pastikan Pulau kemaro ada dalam list tempat yang harus didatangi.
DONGENG ASAL MULA NAMA PALEMBANG
Pada zaman dahulu, daerah Sumatra Selatan dan sebagian Provinsi Jambi berupa hutan belantara yang unik dan indah. Puluhan sungai besar dan kecil yang berasal dari Bukit Barisan, pegunungan sekitar Gunung Dempo, dan Danau Ranau mengalir di wilayah itu. Maka, wilayah itu dikenal dengan nama Ba*tanghari Sembilan. Sungai besar yang mengalir di wilayah itu di antaranya Sungai Komering, Sungai Lematang, Sungai Ogan, Sungai Rawas, dan beberapa sungai yang bermuara di Sungai Musi. Ada dua Sungai Musi yang bermuara di laut di daerah yang berdekatan, yaitu Sungai Musi yang melalui Palembang dan Sungai Musi Banyuasin agak di sebelah utara.
Karena banyak sungai besar, dataran rendah yang melingkar dari daerah Jambi, Sumatra Selatan, sampai Provinsi Lampung merupakan daerah yang banyak mempunyai danau kecil. Asal mula danau-danau kecil itu adalah rawa yang digenangi air laut saat pasang. Sedangkan kota Palembang yang dikenal sekarang menurut sejarah adalah sebuah pulau di Sungai Melayu. Pulau kecil itu berupa bukit yang diberi nama Bukit Seguntang Mahameru.
Keunikan tempat itu selain hutan rimbanya yang lebat dan banyaknya danau-danau kecil, dan aneka bunga yang tumbuh subur, sepanjang wilayah itu dihuni oleh seorang dewi bersama dayang-dayangnya. Dewi itu disebut Putri Kahyangan. Sebenarnya, dia bernama Putri Ayu Sundari. Dewi dan dayang-dayangnya itu mendiami hutan rimba raya, lereng, dan puncak Bukit Barisan serta kepulauan yang sekarang dikenal dengan Malaysia. Mereka gemar datang ke daerah Batanghari Sembilan untuk bercengkerama dan mandi di danau, sungai yang jernih, atau pantai yang luas, landai, dan panjang.
Karena banyaknya sungai yang bermuara ke laut, maka pada zaman itu para pelayar mudah masuk melalui sungai-sungai itu sampai ke dalam, bahkan sampai ke kaki pegunungan, yang ternyata daerah itu subur dan makmur. Maka terjadilah komunikasi antara para pedagang termasuk pedagang dari Cina dengan penduduk setempat. Daerah itu menjadi ramai oleh perdagangan antara penduduk setempat dengan pedagang. Akibatnya, dewi-dewi dari kahyangan merasa terganggu dan mencari tempat lain.
Sementara itu, orang-orang banyak datang di sekitar Sungai Musi untuk membuat rumah di sana. Karena Sumatra Selatan merupakan dataran rendah yang berawa, maka penduduknya membuat rumah yang disebut dengan rakit.
Saat itu Bukit Seguntang Mahameru menjadi pusat perhatian manusia karena tanahnya yang subur dan aneka bunga tubuh di daerah itu. Sungai Melayu tempat Bukit Seguntang Mahameru berada juga menjadi terkenal.
Oleh karena itu, orang yang telah bermukim di Sungai Melayu, terutama penduduk kota Palembang, sekarang menamakan diri sebagai penduduk Sungai Melayu, yang kemudian berubah menjadi pen*duduk Melayu.
Menurut bahasa Melayu tua, kata lembang berarti dataran rendah yang banyak digenangi air, kadang tenggelam kadang kering. Jadi, penduduk dataran tinggi yang hendak ke Palembang sering me*ngatakan akan ke Lembang. Begitu juga para pendatang yang masuk ke Sungai Musi mengatakan akan ke Lembang.
Alkisah ketika Putri Ayu Sundari dan pengiringnya masih berada di Bukit Seguntang Mahameru, ada sebuah kapal yang mengalami kecelakaan di pantai Sumatra Selatan. Tiga orang kakak beradik itu ada*lah putra raja Iskandar Zulkarnain. Mereka selamat dari kecelakaan dan terdampar di Bukit Seguntang Mahameru.
Mereka disambut Putri Ayu Sundari. Putra tertua Raja Iskandar Zulkarnain, Sang Sapurba kemudian menikah dengan Putri Ayu Sundari dan kedua saudaranya menikah dengan keluarga putri itu.
Karena Bukit Seguntang Mahameru berdiam di Sungai Melayu, maka Sang Sapurba dan istrinya mengaku sebagai orang Melayu. Anak cucu mereka kemudian berkembang dan ikut kegiatan di daerah Lembang. Nama Lembang semakin terkenal. Kemudian ketika orang hendak ke Lembang selalu mengatakan akan ke Palembang. Kata pa dalam bahasa Melayu tua menunjukkan daerah atau lokasi. Pertumbuhan ekonomi semakin ramai. Sungai Musi dan Sungai Musi Banyuasin menjadi jalur per*dagangan kuat terkenal sampai ke negara lain. Nama Lembang pun berubah menjadi Palembang.
Karena banyak sungai besar, dataran rendah yang melingkar dari daerah Jambi, Sumatra Selatan, sampai Provinsi Lampung merupakan daerah yang banyak mempunyai danau kecil. Asal mula danau-danau kecil itu adalah rawa yang digenangi air laut saat pasang. Sedangkan kota Palembang yang dikenal sekarang menurut sejarah adalah sebuah pulau di Sungai Melayu. Pulau kecil itu berupa bukit yang diberi nama Bukit Seguntang Mahameru.
Keunikan tempat itu selain hutan rimbanya yang lebat dan banyaknya danau-danau kecil, dan aneka bunga yang tumbuh subur, sepanjang wilayah itu dihuni oleh seorang dewi bersama dayang-dayangnya. Dewi itu disebut Putri Kahyangan. Sebenarnya, dia bernama Putri Ayu Sundari. Dewi dan dayang-dayangnya itu mendiami hutan rimba raya, lereng, dan puncak Bukit Barisan serta kepulauan yang sekarang dikenal dengan Malaysia. Mereka gemar datang ke daerah Batanghari Sembilan untuk bercengkerama dan mandi di danau, sungai yang jernih, atau pantai yang luas, landai, dan panjang.
Karena banyaknya sungai yang bermuara ke laut, maka pada zaman itu para pelayar mudah masuk melalui sungai-sungai itu sampai ke dalam, bahkan sampai ke kaki pegunungan, yang ternyata daerah itu subur dan makmur. Maka terjadilah komunikasi antara para pedagang termasuk pedagang dari Cina dengan penduduk setempat. Daerah itu menjadi ramai oleh perdagangan antara penduduk setempat dengan pedagang. Akibatnya, dewi-dewi dari kahyangan merasa terganggu dan mencari tempat lain.
Sementara itu, orang-orang banyak datang di sekitar Sungai Musi untuk membuat rumah di sana. Karena Sumatra Selatan merupakan dataran rendah yang berawa, maka penduduknya membuat rumah yang disebut dengan rakit.
Saat itu Bukit Seguntang Mahameru menjadi pusat perhatian manusia karena tanahnya yang subur dan aneka bunga tubuh di daerah itu. Sungai Melayu tempat Bukit Seguntang Mahameru berada juga menjadi terkenal.
Oleh karena itu, orang yang telah bermukim di Sungai Melayu, terutama penduduk kota Palembang, sekarang menamakan diri sebagai penduduk Sungai Melayu, yang kemudian berubah menjadi pen*duduk Melayu.
Menurut bahasa Melayu tua, kata lembang berarti dataran rendah yang banyak digenangi air, kadang tenggelam kadang kering. Jadi, penduduk dataran tinggi yang hendak ke Palembang sering me*ngatakan akan ke Lembang. Begitu juga para pendatang yang masuk ke Sungai Musi mengatakan akan ke Lembang.
Alkisah ketika Putri Ayu Sundari dan pengiringnya masih berada di Bukit Seguntang Mahameru, ada sebuah kapal yang mengalami kecelakaan di pantai Sumatra Selatan. Tiga orang kakak beradik itu ada*lah putra raja Iskandar Zulkarnain. Mereka selamat dari kecelakaan dan terdampar di Bukit Seguntang Mahameru.
Mereka disambut Putri Ayu Sundari. Putra tertua Raja Iskandar Zulkarnain, Sang Sapurba kemudian menikah dengan Putri Ayu Sundari dan kedua saudaranya menikah dengan keluarga putri itu.
Karena Bukit Seguntang Mahameru berdiam di Sungai Melayu, maka Sang Sapurba dan istrinya mengaku sebagai orang Melayu. Anak cucu mereka kemudian berkembang dan ikut kegiatan di daerah Lembang. Nama Lembang semakin terkenal. Kemudian ketika orang hendak ke Lembang selalu mengatakan akan ke Palembang. Kata pa dalam bahasa Melayu tua menunjukkan daerah atau lokasi. Pertumbuhan ekonomi semakin ramai. Sungai Musi dan Sungai Musi Banyuasin menjadi jalur per*dagangan kuat terkenal sampai ke negara lain. Nama Lembang pun berubah menjadi Palembang.
Sabtu, 14 April 2012
PENDIDIKAN DI OGAN KOMERING ILIR
GERBANG SMAN 3 UNGGULAN KAYUAGUNG
Sekolah bertaraf internasional di Kabupaten Ogan Komering Ilir salah satunya SMAN 3 Unggulan Kayuagung, sekolah ini terletak di jalan Letnan Sayuti Kelurahan Kedaton, dan Seluruh siswa telah menempati asrama dan seluruh fasilitasnyapada bulan November 2005 telah terakreditasi A (amat baik)
dan pada tanggal 10 April 2012 dari hasil Audit Eksternal NQA Indonesia merekomendasikan SMAN 3 Unggulan Kayuagung mendapatkan Sertifikasi ISO 9001;2008 dan siap menjadi SMA bertaraf Internasional.
Sekolah bertaraf internasional di Kabupaten Ogan Komering Ilir salah satunya SMAN 3 Unggulan Kayuagung, sekolah ini terletak di jalan Letnan Sayuti Kelurahan Kedaton, dan Seluruh siswa telah menempati asrama dan seluruh fasilitasnyapada bulan November 2005 telah terakreditasi A (amat baik)
dan pada tanggal 10 April 2012 dari hasil Audit Eksternal NQA Indonesia merekomendasikan SMAN 3 Unggulan Kayuagung mendapatkan Sertifikasi ISO 9001;2008 dan siap menjadi SMA bertaraf Internasional.
WISATA OGAN KOMERING ILIR
TELUK GELAM
Di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Provinsi Sumatera Selatan, terdapat sekitar 12 obyek wisata alam yang sering dikunjungi wisatawan. Dari sekian banyak obyek wisata tersebut yang paling banyak dikunjungi dan yang menjadi andalan Kabupaten OKI adalah Danau Teluk Gelam. Untuk menuju obyek wisata ini relatif mudah, karena lokasinya berada di tepi jalan lintas Sumatera, sekitar 25 kilometer dari ibukota Kabupaten OKI atau 92 kilometer arah tenggara dari Kota Palembang. Apabila menggunakan angkutan umum jenis bus AKDP (Antar Kota Dalam Provinsi), dari Kota Palembang menuju Kayuagung (Ibukota Kabupaten OKI) hanya perlu mengeluarkan biaya sebesar Rp.10.000,00. Selanjutnya, dari Kayuagung diteruskan menggunakan angkot dengan tarif sekitar Rp3.000,00 hingga ke Teluk Gelam.
Kondisi Danau
Teluk Gelam adalah sebuah danau alami seluas sekitar 250 hektar yang airnya tidak pernah mengering, meski pada musim kemarau. Air danau ini tergolong jernih dan dihuni oleh berbagai macam jenis ikan, seperti: belida, tapah, arwana, dan konon dihuni juga oleh beberapa ekor buaya (walau selama ini belum pernah ada orang yang melihatnya). Pada bagian tengah danau terdapat sebuah daratan yang ditumbuhi ribuan pohon gelam (Melalueka leucadendron) dengan daunnya yang mungil dan berwarna hijau muda. Di sekitar danau pengunjung bisa berolahraga air, mandi, berenang, memancing, atau bahkan sekedar berkeliling menikmati pemandangan alam.
Fasilitas Danau Teluk Gelam
Fasilitas penunjang obyek wisata Danau Teluk Gelam tergolong lengkap. Hal ini disebabkan karena pada tahun 2004, tepatnya akhir bulan Agustus-September, danau ini pernah dijadikan sebagai salah satu tempat pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional (PON) XVI, khususnya cabang olahraga dayung dan ski air. Agar PON XVI dapat berjalan dengan lancar, pemerintah daerah Provinsi Sumatera Selatan mengucurkan dana sebesar Rp.31,9 miliar guna memoles kawasan danau dengan membangun berbagai macam fasilitas olahraga, seperti: dermaga untuk dayung dan ski air (lengkap dengan menara start dan finis), pondok pemandu (align’s hut), serta tribun untuk penonton.
Selain fasilitas olahraga, dibangun pula 34 buah rumah panggung kayu bertipe 45 dan 70 dengan sistem knock down (bongkar pasang). Rumah-rumah panggung tersebut dibuat khusus bagi para pengunjung yang ingin bermalam di kawasan obyek wisata Danau Teluk Gelam. Konon, pengunjung yang menginap akan serasa tinggal di sebuah perkampungan tradisional. Dan bila bangun pagi, yang terlihat adalah hamparan danau yang dapat membuat suasana hati terasa nyaman. Selain rumah panggung, ada alternatif lain untuk menginap yaitu sebuah hotel yang bernama Hotel Teluk Gelam. Hotel yang berdiri megah di tepi danau itu terdiri atas dua bangunan, masing-masing memiliki 24 kamar. Hotel Teluk Gelam menyediakan pula sejumlah alat olahraga berupa jet-ski yang biasa disewakan kepada pengunjung seharga Rp.300.000,00 perjam, serta speed boat dengan sewa Rp.150.000,00 per jam.
Di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Provinsi Sumatera Selatan, terdapat sekitar 12 obyek wisata alam yang sering dikunjungi wisatawan. Dari sekian banyak obyek wisata tersebut yang paling banyak dikunjungi dan yang menjadi andalan Kabupaten OKI adalah Danau Teluk Gelam. Untuk menuju obyek wisata ini relatif mudah, karena lokasinya berada di tepi jalan lintas Sumatera, sekitar 25 kilometer dari ibukota Kabupaten OKI atau 92 kilometer arah tenggara dari Kota Palembang. Apabila menggunakan angkutan umum jenis bus AKDP (Antar Kota Dalam Provinsi), dari Kota Palembang menuju Kayuagung (Ibukota Kabupaten OKI) hanya perlu mengeluarkan biaya sebesar Rp.10.000,00. Selanjutnya, dari Kayuagung diteruskan menggunakan angkot dengan tarif sekitar Rp3.000,00 hingga ke Teluk Gelam.
Kondisi Danau
Teluk Gelam adalah sebuah danau alami seluas sekitar 250 hektar yang airnya tidak pernah mengering, meski pada musim kemarau. Air danau ini tergolong jernih dan dihuni oleh berbagai macam jenis ikan, seperti: belida, tapah, arwana, dan konon dihuni juga oleh beberapa ekor buaya (walau selama ini belum pernah ada orang yang melihatnya). Pada bagian tengah danau terdapat sebuah daratan yang ditumbuhi ribuan pohon gelam (Melalueka leucadendron) dengan daunnya yang mungil dan berwarna hijau muda. Di sekitar danau pengunjung bisa berolahraga air, mandi, berenang, memancing, atau bahkan sekedar berkeliling menikmati pemandangan alam.
Fasilitas Danau Teluk Gelam
Fasilitas penunjang obyek wisata Danau Teluk Gelam tergolong lengkap. Hal ini disebabkan karena pada tahun 2004, tepatnya akhir bulan Agustus-September, danau ini pernah dijadikan sebagai salah satu tempat pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional (PON) XVI, khususnya cabang olahraga dayung dan ski air. Agar PON XVI dapat berjalan dengan lancar, pemerintah daerah Provinsi Sumatera Selatan mengucurkan dana sebesar Rp.31,9 miliar guna memoles kawasan danau dengan membangun berbagai macam fasilitas olahraga, seperti: dermaga untuk dayung dan ski air (lengkap dengan menara start dan finis), pondok pemandu (align’s hut), serta tribun untuk penonton.
Selain fasilitas olahraga, dibangun pula 34 buah rumah panggung kayu bertipe 45 dan 70 dengan sistem knock down (bongkar pasang). Rumah-rumah panggung tersebut dibuat khusus bagi para pengunjung yang ingin bermalam di kawasan obyek wisata Danau Teluk Gelam. Konon, pengunjung yang menginap akan serasa tinggal di sebuah perkampungan tradisional. Dan bila bangun pagi, yang terlihat adalah hamparan danau yang dapat membuat suasana hati terasa nyaman. Selain rumah panggung, ada alternatif lain untuk menginap yaitu sebuah hotel yang bernama Hotel Teluk Gelam. Hotel yang berdiri megah di tepi danau itu terdiri atas dua bangunan, masing-masing memiliki 24 kamar. Hotel Teluk Gelam menyediakan pula sejumlah alat olahraga berupa jet-ski yang biasa disewakan kepada pengunjung seharga Rp.300.000,00 perjam, serta speed boat dengan sewa Rp.150.000,00 per jam.
KABUPATEN OGAN KOMERING ILIR
Kabupaten Ogan Komering Ilir atau sering disingkat OKI, adalah salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Selatan. Berdasarkan UU No. 37 tahun 2003, 6 kecamatan dari kabupaten ini dimekarkan membentuk Kabupaten Ogan Ilir.
[sunting] Pembagian wilayah
Kabupaten OKI terdiri dari 17 kecamatan yang beribukota di Kayuagung, yaitu:
Air Sugihan
Cengal
Jejawi
Kota Kayu Agung
Lempuing
Mesuji
Pampangan
Pedamaran
Sirah Pulau Padang
Tanjung Lubuk
Tulung Selapan
Teluk Gelam
Pedamaran Timur
Mesuji Makmur
Mesuji Raya
Lempuing Jaya
Pangkalan Lampam
Sejarah
Nama Kayuagung secara umum berasal dari sebuah sejarah, dimana pada zaman dahulunya, daerah kota kayuagung terdapat pohon-pohon yang berukuran besar, bahkan ada yang sampai berdiameter 4 meter , kemudian disimpulkanlah oleh para petua Pohon itu berarti Kayusedangkan Besar Itu Agung. mungkin andapun secara tidak sengaja pernah melihat pohon berukuran besar di kota anda, kemungkinannya itu merupakan pohon kayuagung, tapi bukan berarti setiap pohon yang besar itu merupakan pohon kayuagung, ciri khas pohon Kayuagung itu berukuran besar memiliki urat pohon yang timbul dan memiliki akar yang besar dan menjular, selain itu juga terdapat akar yang menjular dari atas kebawah, jadi dari sebuah pohonlah nama dari kota kayuagung itu.
Arti Logo
berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Ogan Komering Ilir Nomor 25/DPRD-OKI/1973 Kabuapten Ogan Komering Ilir Bermotto “Bende Seguguk” dengan lambing berbentuk perisai dengan rincian sebagai berikut :
1. Kepala Perisai bertuliskan “Ogan Komering Ilir” warna huruf merah dengan dasar kuning.
2. Badan Perisai berwarna biru laut yang bermakna “Kedamaian”
3. Pohon Beringin melambangkan “Pengayoman”
4. Gambar Bende atau Gong berwarna kuning memiliki makna “Kebudayaan Daerah”
5. Gambar Untaian Kapas berjumlah 12 kuntum sebagai makna “Kemakmuran Sandang”
6. Gambar Untaian Padi berjumlah 46 bermakna “Kemakmuran Pangan dan Jumlah Marga yang ada pada jaman dulu.
7. Motto “Bende Seguguk” dengan tulisan berwarna hitam mengandung makna “Gong Satu Kesatuan”
Keseluruhan lambang secara umum menggambarkan kehidupan masyarakat dan kepemimpinan daerah dengan semangat persatuan dan kesatuan didalam mewujudkan keseimbangan, antara kemakmuran, kebahagian dan keadilan masyarakat.
Wisata Kayuagung
-tamanPantai Love Kayuagung
ini nih tempat nongkrong nya bujang gadis kalo sore sore sekalian JJS, refreshing nya melepas kepenatan melakukan aktivitas seharian
taman segitiga kayuagung
Taman Segitiga Kayuagung
taman segitiga yang berada di Jalan Pahlawan bertepatan di depan RSUD Kayuagung ini memang merupakan objek exotic .. selain memiliki stadion bola kaki juga dilengkapi taman bermainanak anak, halaman yang luas serta memiliki air mancur yang indah.
Patung Selamat datang di Kayuagung Ogan Komering Ilir
[sunting] Pembagian wilayah
Kabupaten OKI terdiri dari 17 kecamatan yang beribukota di Kayuagung, yaitu:
Air Sugihan
Cengal
Jejawi
Kota Kayu Agung
Lempuing
Mesuji
Pampangan
Pedamaran
Sirah Pulau Padang
Tanjung Lubuk
Tulung Selapan
Teluk Gelam
Pedamaran Timur
Mesuji Makmur
Mesuji Raya
Lempuing Jaya
Pangkalan Lampam
Sejarah
Nama Kayuagung secara umum berasal dari sebuah sejarah, dimana pada zaman dahulunya, daerah kota kayuagung terdapat pohon-pohon yang berukuran besar, bahkan ada yang sampai berdiameter 4 meter , kemudian disimpulkanlah oleh para petua Pohon itu berarti Kayusedangkan Besar Itu Agung. mungkin andapun secara tidak sengaja pernah melihat pohon berukuran besar di kota anda, kemungkinannya itu merupakan pohon kayuagung, tapi bukan berarti setiap pohon yang besar itu merupakan pohon kayuagung, ciri khas pohon Kayuagung itu berukuran besar memiliki urat pohon yang timbul dan memiliki akar yang besar dan menjular, selain itu juga terdapat akar yang menjular dari atas kebawah, jadi dari sebuah pohonlah nama dari kota kayuagung itu.
Arti Logo
berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Ogan Komering Ilir Nomor 25/DPRD-OKI/1973 Kabuapten Ogan Komering Ilir Bermotto “Bende Seguguk” dengan lambing berbentuk perisai dengan rincian sebagai berikut :
1. Kepala Perisai bertuliskan “Ogan Komering Ilir” warna huruf merah dengan dasar kuning.
2. Badan Perisai berwarna biru laut yang bermakna “Kedamaian”
3. Pohon Beringin melambangkan “Pengayoman”
4. Gambar Bende atau Gong berwarna kuning memiliki makna “Kebudayaan Daerah”
5. Gambar Untaian Kapas berjumlah 12 kuntum sebagai makna “Kemakmuran Sandang”
6. Gambar Untaian Padi berjumlah 46 bermakna “Kemakmuran Pangan dan Jumlah Marga yang ada pada jaman dulu.
7. Motto “Bende Seguguk” dengan tulisan berwarna hitam mengandung makna “Gong Satu Kesatuan”
Keseluruhan lambang secara umum menggambarkan kehidupan masyarakat dan kepemimpinan daerah dengan semangat persatuan dan kesatuan didalam mewujudkan keseimbangan, antara kemakmuran, kebahagian dan keadilan masyarakat.
Wisata Kayuagung
-tamanPantai Love Kayuagung
ini nih tempat nongkrong nya bujang gadis kalo sore sore sekalian JJS, refreshing nya melepas kepenatan melakukan aktivitas seharian
taman segitiga kayuagung
Taman Segitiga Kayuagung
taman segitiga yang berada di Jalan Pahlawan bertepatan di depan RSUD Kayuagung ini memang merupakan objek exotic .. selain memiliki stadion bola kaki juga dilengkapi taman bermainanak anak, halaman yang luas serta memiliki air mancur yang indah.
Patung Selamat datang di Kayuagung Ogan Komering Ilir
TARI PENGUTON KAYUAGUNG, OGAN KOMERING ILIR
di kota kayuagung terdapat yang namanya tari penguton, unik ya namanya bergitu juga dengan seninya, tari ini adalah tari untuk menerima tamu agung daerah pada masa dahulunya, dari masa ke masa seni tari ini megalami perubahan, seperti saat zaman belanda tepak diganti kalungan bunga, begitu juga di jaman penjajahan jepang, seni tari ini berubah menjadi seni kembang kacang, dalam perkembangannya dimasa sekarang menjadi gending sriwijaya, selain seni tari terdapat juga seni patung, seni suara, dan cangkiji.
Tari Penguton adalah tari adat Ogan Komering Ilir, tepatnya berasal dari Marga Kayuagung yang dalam pelaksanaannya merupakan unsur yang menyatu dengan adat penyambutan tamu. Hal ini sesuai dengan namanya yang berasal dari bahasa Kayuagung uton, baerti penyambutan.
Tari memiliki sifat resmi dan tercatat dalam naskah tua Kayuagung seperti pada Kitab Hukum Adat dan Pedoman Hukum Adat Teliti yang dibuat oleh Puyang Setiaraja Dian dibantu juru tulisnya Setiabanding Sugih. Jumlah penarinya sembilan orang, sesuai jumlah dusun dalam lingkungan Marga Kayuagung (morge siwe).
Tari Penguton, tari ini adalah tari untuk menerima tamu agung pada masa dahulunya, dari masa ke masa seni tari ini megalami perubahan, seperti saat zaman Belanda Tepak diganti Kalungan Bunga, begitu juga di jaman penjajahan Jepang, seni tari ini berubah menjadi seni Kembang Kacang, dalam perkembangannya dimasa sekarang menjadi Gending Sriwijaya.
Mungkin ada yang tanya, costum yang digunakan kok sama dengan baju tari tanggai tapi yang membedakan nya, setahu saya kalau tari penguton terdiri dari 9 penari, salah 2 nya kalo gak salah pake pakian mulah, hheee, tapi kalo tari tanggai di tarikan dengan penari yang jumlah yang ganjil.
Tari Penguton adalah tari adat Ogan Komering Ilir, tepatnya berasal dari Marga Kayuagung yang dalam pelaksanaannya merupakan unsur yang menyatu dengan adat penyambutan tamu. Hal ini sesuai dengan namanya yang berasal dari bahasa Kayuagung uton, baerti penyambutan.
Tari memiliki sifat resmi dan tercatat dalam naskah tua Kayuagung seperti pada Kitab Hukum Adat dan Pedoman Hukum Adat Teliti yang dibuat oleh Puyang Setiaraja Dian dibantu juru tulisnya Setiabanding Sugih. Jumlah penarinya sembilan orang, sesuai jumlah dusun dalam lingkungan Marga Kayuagung (morge siwe).
Tari Penguton, tari ini adalah tari untuk menerima tamu agung pada masa dahulunya, dari masa ke masa seni tari ini megalami perubahan, seperti saat zaman Belanda Tepak diganti Kalungan Bunga, begitu juga di jaman penjajahan Jepang, seni tari ini berubah menjadi seni Kembang Kacang, dalam perkembangannya dimasa sekarang menjadi Gending Sriwijaya.
Mungkin ada yang tanya, costum yang digunakan kok sama dengan baju tari tanggai tapi yang membedakan nya, setahu saya kalau tari penguton terdiri dari 9 penari, salah 2 nya kalo gak salah pake pakian mulah, hheee, tapi kalo tari tanggai di tarikan dengan penari yang jumlah yang ganjil.
TARI SEBIMBING SEKUNDANG OGAN KOMERING ULU
Seni tari ada disetiap daerah di Sumatera Selatan. Biasanya yang paling menonjol adalah tari sambut bagi tamu yang di agungkan dengan cara memberikan sekapur sirih
Seperti daerah lainnya,Ogan Komering Ulu (OKU) juga memiliki kesenian yang menjadi ciri khas tersendiri. Dengan diberi nama Sebimbing Sekundang, tarian ini memiliki makna dan pesan yang mendalam,baik bagi masyarakat setempat, penari, maupun tamu dan undangan yang melihat suguhan tarian ini.
Sesuai namanya, Tari Sembimbing Sekundang memiliki makna berjalan bersama atau seiring dan saling membantu. Pesan-pesan itulah yang terus disampaikan dan dilestarikan melalui gerakan tarian. Tarian ini selalu disuguhkan dalam penyambutan tamutamu kehormatan yang berkunjung di daerah ini.
Tari Sebimbing Sekundang diciptakan Z Khusni Karana yang juga koreografer profesional Sumsel. Tarian ini diperagakan baik di dalam gedung maupun tempat terbuka.
“Banyak makna yang terkandung, salah satunya toleransi dan kebersamaan,” ungkapnya. Tepak atau pengasan merupakan sarana utama tarian ini yang berisikan beberapa lembar daun sirih segar dan beberapa lipat daun sirih yang telah diracik dengan getah gambir, sehingga siap disuguhkan kepada tamu kehormatan sebagai tanda penerimaan dan pengakuan masyarakat Kabupaten Ogan Komering Ulu.
Gerak tarian, pakaian, dan musik pengiringnya merupakan perpaduan dari gerak, pakaian, dan musik tari-tari tradisional dari berbagai kecamatan dalam Kabupaten Ogan Komering Ulu sehingga tergambar moto “Bumi Sebimbing Sekundang”yang berarti berjalan seiring dan saling membantu dan melaksanakan sesuatu untuk menggapai keberhasilan.
Seperti daerah lainnya,Ogan Komering Ulu (OKU) juga memiliki kesenian yang menjadi ciri khas tersendiri. Dengan diberi nama Sebimbing Sekundang, tarian ini memiliki makna dan pesan yang mendalam,baik bagi masyarakat setempat, penari, maupun tamu dan undangan yang melihat suguhan tarian ini.
Sesuai namanya, Tari Sembimbing Sekundang memiliki makna berjalan bersama atau seiring dan saling membantu. Pesan-pesan itulah yang terus disampaikan dan dilestarikan melalui gerakan tarian. Tarian ini selalu disuguhkan dalam penyambutan tamutamu kehormatan yang berkunjung di daerah ini.
Tari Sebimbing Sekundang diciptakan Z Khusni Karana yang juga koreografer profesional Sumsel. Tarian ini diperagakan baik di dalam gedung maupun tempat terbuka.
“Banyak makna yang terkandung, salah satunya toleransi dan kebersamaan,” ungkapnya. Tepak atau pengasan merupakan sarana utama tarian ini yang berisikan beberapa lembar daun sirih segar dan beberapa lipat daun sirih yang telah diracik dengan getah gambir, sehingga siap disuguhkan kepada tamu kehormatan sebagai tanda penerimaan dan pengakuan masyarakat Kabupaten Ogan Komering Ulu.
Gerak tarian, pakaian, dan musik pengiringnya merupakan perpaduan dari gerak, pakaian, dan musik tari-tari tradisional dari berbagai kecamatan dalam Kabupaten Ogan Komering Ulu sehingga tergambar moto “Bumi Sebimbing Sekundang”yang berarti berjalan seiring dan saling membantu dan melaksanakan sesuatu untuk menggapai keberhasilan.
MUSIK TRADISIONAL INDONESIA (GAMELAN)
Gamelan melambangkan kesenian masyarakat Indonesia sejak zaman dahulu hingga sekarang. Gamelan adalah suatu tabuhan yang selalu digunakan oleh masyarakat Indonesia didalam kesenian, sehingga bunyi tabuhan tersebut seolah-olah menimbulkan suatu inspirasi pada jiwa insan yang mendengarkannya.
Dominasi penduduk yang berasal dari Jawa tentunya membawa budaya Jawa ke kabupaten Ogan Komering Ulu, salah satunya Gamelan.
biasanya gamelan sering kali digunakan dalam Pagelaran Wayang Kulit dan Wayang Wong.
Banyaknya pemain wayang melambangkan gotong royong, kebersamaan, kedisiplinan, serta kekompakan masyarakat.
Gamelan adalah ensembel musik yang biasanya menonjolkan metalofon, gambang, gendang, dan gong. Istilah gamelan merujuk pada instrumennya / alatnya, yang mana merupakan satu kesatuan utuh yang diwujudkan dan dibunyikan bersama. Kata Gamelan sendiri berasal dari bahasa Jawa gamel yang berarti memukul / menabuh, diikuti akhiran an yang menjadikannya kata benda. Orkes gamelan kebanyakan terdapat di pulau Jawa, Madura, Bali, dan Lombok di Indonesia dalam berbagai jenis ukuran dan bentuk ensembel. Di Bali dan Lombok saat ini, dan di Jawa lewat abad ke-18, istilah gong lebih dianggap sinonim dengan gamelan.
Kemunculan gamelan didahului dengan budaya Hindu-Budha yang mendominasi Indonesia pada awal masa pencatatan sejarah, yang juga mewakili seni asli indonesia. Instrumennya dikembangkan hingga bentuknya sampai seperti sekarang ini pada zaman Kerajaan Majapahit. Dalam perbedaannya dengan musik India, satu-satunya dampak ke-India-an dalam musik gamelan adalah bagaimana cara menyanikannya. Dalam mitologi Jawa, gamelan dicipatakan oleh Sang Hyang Guru pada Era Saka, dewa yang menguasai seluruh tanah Jawa, dengan istana di gunung Mahendra di Medangkamulan (sekarang Gunung Lawu). Sang Hyang Guru pertama-tama menciptakan gong untuk memanggil para dewa. Untuk pesan yang lebih spesifik kemudian menciptakan dua gong, lalu akhirnya terbentuk set gamelan.[rujukan?]
Gambaran tentang alat musik ensembel pertama ditemukan di Candi Borobudur, Magelang Jawa Tengah, yang telah berdiri sejak abad ke-8. Alat musik semisal suling bambu, lonceng, kendhang dalam berbagai ukuran, kecapi, alat musik berdawai yang digesek dan dipetik, ditemukan dalam relief tersebut. Namun, sedikit ditemukan elemen alat musik logamnya. Bagaimanapun, relief tentang alat musik tersebut dikatakan sebagai asal mula gamelan.
Penalaan dan pembuatan orkes gamelan adalah suatu proses yang kompleks. Gamelan menggunakan empat cara penalaan, yaitu sléndro, pélog, "Degung" (khusus daerah Sunda, atau Jawa Barat), dan "madenda" (juga dikenal sebagai diatonis, sama seperti skala minor asli yang banyak dipakai di Eropa.
Musik Gamelan merupakan gabungan pengaruh seni luar negeri yang beraneka ragam. Kaitan not nada dari Cina, instrumen musik dari Asia Tenggara, drum band dan gerakkan musik dari India, bowed string dari daerah Timur Tengah, bahkan style militer Eropa yang kita dengar pada musik tradisional Jawa dan Bali sekarang ini.
Interaksi komponen yang sarat dengan melodi, irama dan warna suara mempertahankan kejayaan musik orkes gamelan Bali. Pilar-pilar musik ini menyatukan berbagai karakter komunitas pedesaan Bali yang menjadi tatanan musik khas yang merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari.
Dominasi penduduk yang berasal dari Jawa tentunya membawa budaya Jawa ke kabupaten Ogan Komering Ulu, salah satunya Gamelan.
biasanya gamelan sering kali digunakan dalam Pagelaran Wayang Kulit dan Wayang Wong.
Banyaknya pemain wayang melambangkan gotong royong, kebersamaan, kedisiplinan, serta kekompakan masyarakat.
Gamelan adalah ensembel musik yang biasanya menonjolkan metalofon, gambang, gendang, dan gong. Istilah gamelan merujuk pada instrumennya / alatnya, yang mana merupakan satu kesatuan utuh yang diwujudkan dan dibunyikan bersama. Kata Gamelan sendiri berasal dari bahasa Jawa gamel yang berarti memukul / menabuh, diikuti akhiran an yang menjadikannya kata benda. Orkes gamelan kebanyakan terdapat di pulau Jawa, Madura, Bali, dan Lombok di Indonesia dalam berbagai jenis ukuran dan bentuk ensembel. Di Bali dan Lombok saat ini, dan di Jawa lewat abad ke-18, istilah gong lebih dianggap sinonim dengan gamelan.
Kemunculan gamelan didahului dengan budaya Hindu-Budha yang mendominasi Indonesia pada awal masa pencatatan sejarah, yang juga mewakili seni asli indonesia. Instrumennya dikembangkan hingga bentuknya sampai seperti sekarang ini pada zaman Kerajaan Majapahit. Dalam perbedaannya dengan musik India, satu-satunya dampak ke-India-an dalam musik gamelan adalah bagaimana cara menyanikannya. Dalam mitologi Jawa, gamelan dicipatakan oleh Sang Hyang Guru pada Era Saka, dewa yang menguasai seluruh tanah Jawa, dengan istana di gunung Mahendra di Medangkamulan (sekarang Gunung Lawu). Sang Hyang Guru pertama-tama menciptakan gong untuk memanggil para dewa. Untuk pesan yang lebih spesifik kemudian menciptakan dua gong, lalu akhirnya terbentuk set gamelan.[rujukan?]
Gambaran tentang alat musik ensembel pertama ditemukan di Candi Borobudur, Magelang Jawa Tengah, yang telah berdiri sejak abad ke-8. Alat musik semisal suling bambu, lonceng, kendhang dalam berbagai ukuran, kecapi, alat musik berdawai yang digesek dan dipetik, ditemukan dalam relief tersebut. Namun, sedikit ditemukan elemen alat musik logamnya. Bagaimanapun, relief tentang alat musik tersebut dikatakan sebagai asal mula gamelan.
Penalaan dan pembuatan orkes gamelan adalah suatu proses yang kompleks. Gamelan menggunakan empat cara penalaan, yaitu sléndro, pélog, "Degung" (khusus daerah Sunda, atau Jawa Barat), dan "madenda" (juga dikenal sebagai diatonis, sama seperti skala minor asli yang banyak dipakai di Eropa.
Musik Gamelan merupakan gabungan pengaruh seni luar negeri yang beraneka ragam. Kaitan not nada dari Cina, instrumen musik dari Asia Tenggara, drum band dan gerakkan musik dari India, bowed string dari daerah Timur Tengah, bahkan style militer Eropa yang kita dengar pada musik tradisional Jawa dan Bali sekarang ini.
Interaksi komponen yang sarat dengan melodi, irama dan warna suara mempertahankan kejayaan musik orkes gamelan Bali. Pilar-pilar musik ini menyatukan berbagai karakter komunitas pedesaan Bali yang menjadi tatanan musik khas yang merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari.
PAKAIAN ADAT SUMATERA SELATAN
Pakaian tradisional masyarakat Sumatera Selatan, biasa disebut Aesan Gede, Baju adat ini terinspirasi dari zaman kerajaan Sriwijaya yang dahulunya sangat berjaya di Sumatera Selatan.
RUMAH ADAT OGAN KOMERING ULU
Rumah pada hakekatnya merupakan kebutuhan dasar (basic needs) manusia selain sandang dan pangan, juga pendidikan dan kesehatan.
Salah satu aspek yang cukup berpengaruh pada penyediaan perumahan dan permukiman yang lebih bersifat internal adalah aspek sosial – budaya masyarakat Ogan Komering Ulu. Rumah memang tidak sekedar sebagai tempat berteduh dan melindungi diri penghuninya dari kondisi alam dan bahaya dari luar, namun sudah berkembang sebagai sarana yang dapat menunjukan jati diri dan pribadi penghuninya.
Dalam kehidupan masyarakat Ogan Komering Ulu, manusia merupakan insan sosial sekaligus sebagai insan ekonomi. Sebagai ‘insan
sosial’, manusia memandang rumah dalam fungsinya sebagai pemenuhan kebutuhan sosial budayanya dalam masyarakat. Sedangkan sebagai ‘insan ekonomi’ fungsi rumah dipandang sebagai investasi jangka panjang yang akan meperkokoh jaminan kehidupan dan penghidupannya dimasa mendatang.
Salah satu aspek yang cukup berpengaruh pada penyediaan perumahan dan permukiman yang lebih bersifat internal adalah aspek sosial – budaya masyarakat Ogan Komering Ulu. Rumah memang tidak sekedar sebagai tempat berteduh dan melindungi diri penghuninya dari kondisi alam dan bahaya dari luar, namun sudah berkembang sebagai sarana yang dapat menunjukan jati diri dan pribadi penghuninya.
Dalam kehidupan masyarakat Ogan Komering Ulu, manusia merupakan insan sosial sekaligus sebagai insan ekonomi. Sebagai ‘insan
sosial’, manusia memandang rumah dalam fungsinya sebagai pemenuhan kebutuhan sosial budayanya dalam masyarakat. Sedangkan sebagai ‘insan ekonomi’ fungsi rumah dipandang sebagai investasi jangka panjang yang akan meperkokoh jaminan kehidupan dan penghidupannya dimasa mendatang.
Jumat, 13 April 2012
CINTA SEJATI DI PULAU KEMARO
Di Pulau ini terdapat makam Putri Palembang yang menurut legenda setempat, pada akhir kerajaan Sri Vijaya ada seorang pangeran dari Negeri Cina datang untuk belajar ke Sri Vijaya yang saat itu memang terkenal sebagai kota pendidikan. Selama berada di Sri Vijaya pangeran itu berkenalan dan jatuh hati kepada Siti Fatimah yang putri Raja Sri Vijaya. Untuk mengikat hubungan cinta mereka sang pangeran pun meminang sang putri. Gayung pun bersambut, pinangan pangeran diterima oleh sang putri dan keluarganya.
Untuk melengkapi pinangannya sang pangeran pun mengutus seorang perwira pengawal pulang ke Cina untuk meminta cindera mata kepada Ayahnya. Selang berapa lama sang perwira pengawal datang kembali ke Sri Vijaya dengan membawa cindera mata dalam kapal beserta hulubalang. Tanpa sepengetahuan sang perwira pengawal dan hulubalangnya, rupanya ketika di Cina, orang tua sang pangeran menyamarkan guci, keramik dan uang cina (coin emas dan perak ) dibawah tumpukan sayur dan buah-buahan. Maksudnya untuk kejutan kepada calon mantu ketika menerima buah pinangan sang pangeran.
Ketika kapal akan sandar sang pangeran memeriksa kapal untuk meyakinkan isinya sesuai yang dia harapkan. Tapi ternyata yang keliatan oleh hanya sayuran, buah-buahan dan hasil pertanian lainnya. Sang Pangeran pun panik, karena dia berharap orang tuanya mengirimi dia cindera mata untuk menyenangkan sang putri. Setelah dia mengobrak-abrik kapal sampai putus asa dengan harapan menemukan cindera mata diatara hasil bumi, akhirnya dia marah besar karena malu, dia melempar semua guci kapal ke Sungai Musi, samapi guci yang ke sembilan dilemparnya namun tak langsung jatuh kesungai hingga guci itupun pecah berantakan. Dan terlihatlah sebenarnya pada tiap guci itu ada cindera mata yang di kirim Ayahnya.
Merasa menyesal sudah membuang semua guci sang pangeran menyuruh seluruh hulu balangnya untuk mengambil ke Sungai Musi. Karena arus bawah Sungai Musi yang deras sebagian besar hulu balangnya mati tenggelam dan hanyut terbawa arus. Pangeran pun kemudian menyuruh perwira pengawal uuntuk menyusul mengambil kembali guci yang sudah terlanjur dibuang ke sungai, dan seperti hulubalang lainnya, perwira pengawal pun tidak pernah timbul lagi ke permukaan Sungai Musi.
Sampai akhirnya sang Pangeran sendiri memutuskan untuk terjun ke dalam sungai, tapi seperti yang lain pangeranpun tak lagi muncul kepermukaan. Karena gelisah, di dorong oleh rasa cintanya yang begitu kuat terhadap Pangeran, akhirnya Siti Fatimah (Sang Putri) menyusul terjun ke sungai untuk mencari calon Suaminya. Konon delta ini (Pulau kemaro) timbul sebagai bukti cinta Putri Siti Fatimah kepada calon suaminya. Dari sinilah kemudian berkembang mitos bahwa apabila ada pasangan yang sedang jatuh cinta datang ke pulau ini maka cinta mereka hanya akan dapat di pisahkan oleh maut.
Daya tarik Kemaro adalah pagoda berlantai 9 yang menjulang di tengah-tengah pulau. Bangunan ini baru dibangun tahun 2006. Selain pagoda ada klenteng yang sudah dulu ada. Klenteng Soei Goeat Kiong atau lebih dikenal Klenteng Kuan Im dibangun sejak tahun 1962. Di depan klenteng terdapat makam Tan Bun An (Pangeran) dan Siti Fatimah (Putri) yang berdampingan. Kisah cinta mereka berdualah yang menjadi legenda terbentuknya pulau ini.
Kisah cinta yang mengharukan dari pulau kemaro ini merupakan hal yang tak dapat di pisahkan dari tradisi perayaan imlek di kota Palembang.
Untuk melengkapi pinangannya sang pangeran pun mengutus seorang perwira pengawal pulang ke Cina untuk meminta cindera mata kepada Ayahnya. Selang berapa lama sang perwira pengawal datang kembali ke Sri Vijaya dengan membawa cindera mata dalam kapal beserta hulubalang. Tanpa sepengetahuan sang perwira pengawal dan hulubalangnya, rupanya ketika di Cina, orang tua sang pangeran menyamarkan guci, keramik dan uang cina (coin emas dan perak ) dibawah tumpukan sayur dan buah-buahan. Maksudnya untuk kejutan kepada calon mantu ketika menerima buah pinangan sang pangeran.
Ketika kapal akan sandar sang pangeran memeriksa kapal untuk meyakinkan isinya sesuai yang dia harapkan. Tapi ternyata yang keliatan oleh hanya sayuran, buah-buahan dan hasil pertanian lainnya. Sang Pangeran pun panik, karena dia berharap orang tuanya mengirimi dia cindera mata untuk menyenangkan sang putri. Setelah dia mengobrak-abrik kapal sampai putus asa dengan harapan menemukan cindera mata diatara hasil bumi, akhirnya dia marah besar karena malu, dia melempar semua guci kapal ke Sungai Musi, samapi guci yang ke sembilan dilemparnya namun tak langsung jatuh kesungai hingga guci itupun pecah berantakan. Dan terlihatlah sebenarnya pada tiap guci itu ada cindera mata yang di kirim Ayahnya.
Merasa menyesal sudah membuang semua guci sang pangeran menyuruh seluruh hulu balangnya untuk mengambil ke Sungai Musi. Karena arus bawah Sungai Musi yang deras sebagian besar hulu balangnya mati tenggelam dan hanyut terbawa arus. Pangeran pun kemudian menyuruh perwira pengawal uuntuk menyusul mengambil kembali guci yang sudah terlanjur dibuang ke sungai, dan seperti hulubalang lainnya, perwira pengawal pun tidak pernah timbul lagi ke permukaan Sungai Musi.
Sampai akhirnya sang Pangeran sendiri memutuskan untuk terjun ke dalam sungai, tapi seperti yang lain pangeranpun tak lagi muncul kepermukaan. Karena gelisah, di dorong oleh rasa cintanya yang begitu kuat terhadap Pangeran, akhirnya Siti Fatimah (Sang Putri) menyusul terjun ke sungai untuk mencari calon Suaminya. Konon delta ini (Pulau kemaro) timbul sebagai bukti cinta Putri Siti Fatimah kepada calon suaminya. Dari sinilah kemudian berkembang mitos bahwa apabila ada pasangan yang sedang jatuh cinta datang ke pulau ini maka cinta mereka hanya akan dapat di pisahkan oleh maut.
Daya tarik Kemaro adalah pagoda berlantai 9 yang menjulang di tengah-tengah pulau. Bangunan ini baru dibangun tahun 2006. Selain pagoda ada klenteng yang sudah dulu ada. Klenteng Soei Goeat Kiong atau lebih dikenal Klenteng Kuan Im dibangun sejak tahun 1962. Di depan klenteng terdapat makam Tan Bun An (Pangeran) dan Siti Fatimah (Putri) yang berdampingan. Kisah cinta mereka berdualah yang menjadi legenda terbentuknya pulau ini.
Kisah cinta yang mengharukan dari pulau kemaro ini merupakan hal yang tak dapat di pisahkan dari tradisi perayaan imlek di kota Palembang.
SI PAHIT LIDAH DAN SI MATA EMPAT
Si Pahit Lidah yang itulah cuma sejarah yang pernah tercatat pada cerita rakyat, banyak makna dan hakikat hidup yang bisa dijadikann pelajaran hidup dan renungkan akan apa yang kita lihat dan apa yang kita ucapkan dengan lidah. Waspada dan kendalikan terhadap Lidahmu, sekali melesat, seperta anak panah yang terlepas dari busurnya dan akan melukai sasaran yang ada didepannya tanpa dapat ditarik kembali.
mantra si pahit lidah
1. Lidah itu sebagai Pengumbar Janji
2. Lidah itu sebagai Pembohong
3. Lidah itu sebagai Pembangkang
4. Lidah itu sebagai Pengadu Domba
5. Lidah itu sebagai Penghianat
6. Lidah itu sebagai Penjilat
7. Lidah itu sebagai Pengingkar
8. Lidah itu sebagai Malapetaka
9. Lidah itu sebagai Pemusnah
10. Lidah itu sebagai Pembunuh
11. Lidah itu sebagai Penghancur
12. Lidah itu dapat berkata dengan baik dan bijak, namun dapat pula berkata jahat dan keji
13. Lidah itu dapat sebagai obat penawar juga dapat sebagai racun mematikan
Lidah dapat mengenai orang lain dan juga terhadap dirinya sendiri bila tidak dikendalikan
Si Mata Empat
Waspada dan kendalikan Matamu, karena sebagai cermin untuk koreksi dan intropeksi diri. Mata dapat membawa pelakunya ke Tahta Singgasana Raja dan dapat pula membawa ke Jurang Nestapa.
1. Mata itu sebagai Penggoda dan dapat Tergoda
2. Mata itu sebagai Penipu dan dapat Tertipu
3. Mata itu sebagai Musuh
4. Mata itu sebagai Nafsu
5. Mata itu sebagai Pemikat
6. Mata itu sebagai Hasrat
7. Mata itu sebagai Syahwat
8. Mata itu sebagai Penjahat
9. Mata itu sebagai Bara Api
10. Mata itu dapat membutakan Hati
11. Mata itu dapat menumpulkan Akal
12. Mata itu dapat Mengikis Iman
13. Mata itu dapat membuat Lumpuh Jiwa dan Raga
Mata itu dapat mengancam terhadap dirinya sendiri dan orang lain bila tidak dikendalikan.
Perilaku dan akhlak akan tampak Baik dan Terpuji bila melihat dari kedua mata depan dihadapan cermin, namun dari belakang!??, Kepada apa? Kepada siapa tempat bercermin?. Kepada orang-orang sekitarlah sebagai kedua mata belakang untuk bercermin, koreksi dan intropeksi diri.
Jangan memandang Hina dan Rendah terhadap orang lain, karena Saya, Kita dan Mereka adalah satu sang Penciptanya yaitu Allah SWT, zat yang mengusai langit dan bumi, Maha Hidup, Maha Kaya, tidak bergantung pada makhluk ciptaannya. Sang Raja pun telah menjadi batu, karena mata dan lidah yang melesat begitu saja dan tidak dikendalikan oleh empunya.
Wahai kawan peliharalah mata dan lidahmu jangan melukai hati sahabat dengan lidahmu dan jangan pula kamu memandang dengan kecurigaan dan berburuk sangka melalui matamu. tidak ada teman yang membuat
sial kecuali kekuranganmu semahami hati sahabatmu.
mantra si pahit lidah
1. Lidah itu sebagai Pengumbar Janji
2. Lidah itu sebagai Pembohong
3. Lidah itu sebagai Pembangkang
4. Lidah itu sebagai Pengadu Domba
5. Lidah itu sebagai Penghianat
6. Lidah itu sebagai Penjilat
7. Lidah itu sebagai Pengingkar
8. Lidah itu sebagai Malapetaka
9. Lidah itu sebagai Pemusnah
10. Lidah itu sebagai Pembunuh
11. Lidah itu sebagai Penghancur
12. Lidah itu dapat berkata dengan baik dan bijak, namun dapat pula berkata jahat dan keji
13. Lidah itu dapat sebagai obat penawar juga dapat sebagai racun mematikan
Lidah dapat mengenai orang lain dan juga terhadap dirinya sendiri bila tidak dikendalikan
Si Mata Empat
Waspada dan kendalikan Matamu, karena sebagai cermin untuk koreksi dan intropeksi diri. Mata dapat membawa pelakunya ke Tahta Singgasana Raja dan dapat pula membawa ke Jurang Nestapa.
1. Mata itu sebagai Penggoda dan dapat Tergoda
2. Mata itu sebagai Penipu dan dapat Tertipu
3. Mata itu sebagai Musuh
4. Mata itu sebagai Nafsu
5. Mata itu sebagai Pemikat
6. Mata itu sebagai Hasrat
7. Mata itu sebagai Syahwat
8. Mata itu sebagai Penjahat
9. Mata itu sebagai Bara Api
10. Mata itu dapat membutakan Hati
11. Mata itu dapat menumpulkan Akal
12. Mata itu dapat Mengikis Iman
13. Mata itu dapat membuat Lumpuh Jiwa dan Raga
Mata itu dapat mengancam terhadap dirinya sendiri dan orang lain bila tidak dikendalikan.
Perilaku dan akhlak akan tampak Baik dan Terpuji bila melihat dari kedua mata depan dihadapan cermin, namun dari belakang!??, Kepada apa? Kepada siapa tempat bercermin?. Kepada orang-orang sekitarlah sebagai kedua mata belakang untuk bercermin, koreksi dan intropeksi diri.
Jangan memandang Hina dan Rendah terhadap orang lain, karena Saya, Kita dan Mereka adalah satu sang Penciptanya yaitu Allah SWT, zat yang mengusai langit dan bumi, Maha Hidup, Maha Kaya, tidak bergantung pada makhluk ciptaannya. Sang Raja pun telah menjadi batu, karena mata dan lidah yang melesat begitu saja dan tidak dikendalikan oleh empunya.
Wahai kawan peliharalah mata dan lidahmu jangan melukai hati sahabat dengan lidahmu dan jangan pula kamu memandang dengan kecurigaan dan berburuk sangka melalui matamu. tidak ada teman yang membuat
sial kecuali kekuranganmu semahami hati sahabatmu.
CERITA RAKYAT SI PAHIT LIDAH
Namanya Serunting. Ia adalah pangeran dari Kerajaan Sumidang, tetapi ia lebih dikenal dengan Si Pahit Lidah. Apakah lidahnya pahit? Tidak tentu saja. Ia mendapat julukan itu karena apapun kalimat yang dia ucapkan akan berubah menjadi kutukan.
Si Pahit Lidah memperoleh kesaktiannya setelah bersemedi selama bertahun-tahun di Bukit Siguntang. Ia bersemedi sampai tubuhnya ditutupi oleh lumut. Begitu kaluar dari persemediannya, ia mengutuk semua orang yang ia temui menjadi batu. Ia cukup berkata “jadilah batu”, maka benda di hadapannya akan seketika berubah menjadi batu.
Pada suatu hari Si Pahit Lidah terperangkap dalam sebuah buku, yaitu buku dongeng untuk anak. Ia tak pernah bisa keluar dari buku itu, tetapi ia tahu jika ada orang yang membaca bukunya. Bertahun-tahun Si Pahit Lidah terperangkap, jika tak ada yang membaca buku tersebut, ia hanya tidur. Kadang tiba-tiba ia terbangun karena ada yang membuka bukunya, lalu ia melihat sekelompok anak-anak sedang mendengarkan dongeng tentang dirinya. Pada kesempatan lain ia terbangun di tempat yang berbeda. Begitu seterusnya sampai pada suatu hari ia berada di perpustakaan sebuah Taman Kanak-Kanak.
Di tempat yang baru ini, Si Pahit Lidah tak bisa tidur, seorang anak selalu membolak-balik halaman bukunya. Gadis ini bahkan meminjam dirinya untuk dibawa pulang ke rumah. Karena penasaran, Si Pahit Lidah mengamati anak itu. Ia adalah seorang gadis kecil yang pendiam, matanya tajam, rambutnya ikal, dan kulitnya kecoklatan. Akan tetapi anak itu cantik, sangat cantik. Si Pahit Lidah sangat senang melihat kecantikan anak itu, juga tatapan matanya yang terkagum-kagum membaca kisah tentang dirinya. Ia ingin menyapanya, tetapi ia tak bisa.
Pada suatu hari, Si Pahit Lidah mendengar keributan. Tampaklah segerombolan anak laki-laki tengah mengganggu si gadis kecil, buku dan alat tulisnya berhamburan di lantai, juga buku dongengnya, itulah kenapa Si Pahit Lidah bisa mendengar keributan yang ada. Anak kecil itu tidak membalas meski teman-temannya memaki-maki dirinya. Dengan gugup ia mengambil peralatan tulisnya dan memasukkan ke dalam tas. Anak lelaki itu terus mengejeknya. Si Pahit lidah geram melihatnya. Ia ingin sekali mengutuk anak-anak itu menjadi batu, tetapi buku dongeng tiba-tiba tertutup dan dia tak bisa mendengar apa-apa lagi.
Tak biasanya saat buku tertutup Si Pahit Lidah tak bisa tidur. Ia terus memikirkan gadis kecil itu. Ia kasihan melihatnya. Lalu si Pahit Lidah berdoa agar ia bisa keluar dari buku, ia berjanji hanya akan menggunakan kesaktiannya untuk kebaikan. Tuhan mengabulkan doanya. Malam itu ketika gadis kecil membuka buku dongengnya, Si Pahit Lidah keluar dari buku. Gadis itu terpekik takut, refleks ia bersembunyi di bawah meja belajarnya.
“Keluarlah! Aku ingin jadi temanmu”, kata Si Pahit Lidah.
“Kau tidak akan mengutukku?” gadis kecil bertanya dari bawah meja.
“Tidak, aku hanya akan menggunakan kutukanku untuk kebaikan”, jawab pahit lidah.
Lalu keduanya berteman. Gadis itu bernama Valya. Ia menceritakan kepada Pahit Lidah bahwa ia selalu diejek teman-temannya. Ia ingin sekali memiliki kesaktian seperti Si Pahit Lidah untuk membalas teman-temannya.
Akan tetapi Si Pahit Lidah melarang sang gadis kecil untuk balas dendam kepada teman-temannya.
“Kita tak boleh membalas kejahatan dengan kejahatan pula. Justru sebaliknya, balaslah kejahatan-kejahatan mereka dengan kebaikan-kebaikan yang ada pada dirimu!”
“Mengapa Pahit Lidah? Bukankah engkau pun begitu terhadap semua orang yang bahkan tak berdosa padamu?”
“Iya, itu dulu ketika aku baru mendapatkan ilmu sakti yang kuperoleh selama bertahun-tahun bertapa di bawah pohon bambu. Tapi setelah aku terperangkap dalam sebuah buku dongeng, aku mulai sadar dan berhenti untuk mengutuk siapapun. Oleh karena itu aku dapat hadir di hadapanmu gadis manis.” Suasana hening sesaat sang gadis menatap dalam sang Pahit Lidah.
“Pahit Lidah, bolehkah aku bertanya padamu?”
“Tentang apa itu gadis manis?”, sahut Si Pahit Lidah seraya merangkul tubuh mungil itu.
“Mengapa kau selalu mengutuk setiap orang yang kau lalui, padahal mereka kan tidak punya salah?”
“Hmm, itu sajakah yang ingin kau tanyakan padaku?”
Si gadis Manis hanya mengangguk sambil tersenyum manja.
“Karena aku sakit hati dengan saudara iparku yang bernama Aria Tebing dan isteriku sendiri.”
“Mengapa engkau sakit hati dengan mereka?”, sela gadis itu dengan nada penasaran sebelum Pahit Lidah meneruskan ceritanya.
“Hmm, aku sakit hati karena telah dikhianati oleh isteriku akan kelemahan diriku.”
“Ohh kasihan engkau Pahit Lidah, aku tak menyangka seorang isterimu bisa mengkhianati suaminya sendiri.“
“Begitulah kehidupan sayang, tak semua orang itu baik hatinya. Mungkin kau pernah mendengar pepatah dalamnya laut bisa kau ukur, tapi dalamnya hati siapa yang tahu?“
“Iya Pahit Lidah, teman-temanku tak ada yang baik. Mereka jahat semua, makanya aku ingin memberi pelajaran buat mereka.”
“Jangan sayang! Kau ingin tahu mengapa aku bisa berada dihadapanmu sekarang?”
“Kenapa?”
“Karena aku telah bersumpah dan memohon kepada Tuhan, jika aku bisa keluar dari buku dongeng yang kau genggam sekarang itu aku akan menggunakan kekuatanku untuk hal-hal yang baik saja.”
“Kenapa? Apakah kau sudah bosan mengutuk mereka dengan kesaktianmu?”
“Oh, tidak gadis manis. Bukan itu yang kuinginkan, aku hanya..”, Si Pahit Lidah terdiam sejenak.
“Hanya apa?”
“Aku hanya ingin menemanimu sayang, disaat teman-temanmu menjahati dan menjauhi dirimu. Aku tak tega mendengar teriak tangisan kecilmu.”
“Niatmu tulus, Pahit Lidah.”
“Dari mana kau tahu aku tulus?”
“Karena Tuhan mengabulkan doamu.”
“Anak pintar, jadi tak perlu lagi aku berusaha membuatmu percaya padaku bahwa aku tulus ingin menemanimu.”
“Oh ya Pahit Lidah, bolehkah aku bertanya satu lagi padamu?”
“Apa itu, manis?”, sahut Pahit Lidah seraya merenggangkan rangkulan tangannya dari tubuh gadis itu.
“Hmm, aku pernah membaca sedikit tentang kebaikan-kebaikanmu Pahit Lidah. Dan sekarang aku ingin mendengar dari mulutmu sendiri.”
“Baiklah gadis manis. Dahulu aku pernah menolong sepasang suami isteri yang sudah lanjut usia, bahkan ompong untuk bisa memiliki seorang anak.“
“Sungguh?”, sambar gadis itu dengan menatap tajam mata Si Pahit Lidah. Si Pahit Lidah hanya mengangguk membalas tatapan gadis kecilnya.
“Sekarang sudah malam, waktunya kau tidur. Esok kau harus pergi ke sekolah”, kata Si Pahit Lidah sambil mengelus kepala bocah yang mengangguk hendak beranjak ke tempat tidur.
Malam itu terasa panjang bagi gadis manis yang bernama Valya. Ia merasa senang bisa berhadapan langsung dengan Si Pahit Lidah, entah itu mimpi atau nyata.
Pesan moral :
* Jangan terlalu percaya kepada orang lain,
* Jangan membalas kejahatan dengan kejahatan pula,tetapi balaslah kejahatan itu dengan kebaikan
* Gunakan kelebihan yang kita punya untuk kebaikan
Si Pahit Lidah memperoleh kesaktiannya setelah bersemedi selama bertahun-tahun di Bukit Siguntang. Ia bersemedi sampai tubuhnya ditutupi oleh lumut. Begitu kaluar dari persemediannya, ia mengutuk semua orang yang ia temui menjadi batu. Ia cukup berkata “jadilah batu”, maka benda di hadapannya akan seketika berubah menjadi batu.
Pada suatu hari Si Pahit Lidah terperangkap dalam sebuah buku, yaitu buku dongeng untuk anak. Ia tak pernah bisa keluar dari buku itu, tetapi ia tahu jika ada orang yang membaca bukunya. Bertahun-tahun Si Pahit Lidah terperangkap, jika tak ada yang membaca buku tersebut, ia hanya tidur. Kadang tiba-tiba ia terbangun karena ada yang membuka bukunya, lalu ia melihat sekelompok anak-anak sedang mendengarkan dongeng tentang dirinya. Pada kesempatan lain ia terbangun di tempat yang berbeda. Begitu seterusnya sampai pada suatu hari ia berada di perpustakaan sebuah Taman Kanak-Kanak.
Di tempat yang baru ini, Si Pahit Lidah tak bisa tidur, seorang anak selalu membolak-balik halaman bukunya. Gadis ini bahkan meminjam dirinya untuk dibawa pulang ke rumah. Karena penasaran, Si Pahit Lidah mengamati anak itu. Ia adalah seorang gadis kecil yang pendiam, matanya tajam, rambutnya ikal, dan kulitnya kecoklatan. Akan tetapi anak itu cantik, sangat cantik. Si Pahit Lidah sangat senang melihat kecantikan anak itu, juga tatapan matanya yang terkagum-kagum membaca kisah tentang dirinya. Ia ingin menyapanya, tetapi ia tak bisa.
Pada suatu hari, Si Pahit Lidah mendengar keributan. Tampaklah segerombolan anak laki-laki tengah mengganggu si gadis kecil, buku dan alat tulisnya berhamburan di lantai, juga buku dongengnya, itulah kenapa Si Pahit Lidah bisa mendengar keributan yang ada. Anak kecil itu tidak membalas meski teman-temannya memaki-maki dirinya. Dengan gugup ia mengambil peralatan tulisnya dan memasukkan ke dalam tas. Anak lelaki itu terus mengejeknya. Si Pahit lidah geram melihatnya. Ia ingin sekali mengutuk anak-anak itu menjadi batu, tetapi buku dongeng tiba-tiba tertutup dan dia tak bisa mendengar apa-apa lagi.
Tak biasanya saat buku tertutup Si Pahit Lidah tak bisa tidur. Ia terus memikirkan gadis kecil itu. Ia kasihan melihatnya. Lalu si Pahit Lidah berdoa agar ia bisa keluar dari buku, ia berjanji hanya akan menggunakan kesaktiannya untuk kebaikan. Tuhan mengabulkan doanya. Malam itu ketika gadis kecil membuka buku dongengnya, Si Pahit Lidah keluar dari buku. Gadis itu terpekik takut, refleks ia bersembunyi di bawah meja belajarnya.
“Keluarlah! Aku ingin jadi temanmu”, kata Si Pahit Lidah.
“Kau tidak akan mengutukku?” gadis kecil bertanya dari bawah meja.
“Tidak, aku hanya akan menggunakan kutukanku untuk kebaikan”, jawab pahit lidah.
Lalu keduanya berteman. Gadis itu bernama Valya. Ia menceritakan kepada Pahit Lidah bahwa ia selalu diejek teman-temannya. Ia ingin sekali memiliki kesaktian seperti Si Pahit Lidah untuk membalas teman-temannya.
Akan tetapi Si Pahit Lidah melarang sang gadis kecil untuk balas dendam kepada teman-temannya.
“Kita tak boleh membalas kejahatan dengan kejahatan pula. Justru sebaliknya, balaslah kejahatan-kejahatan mereka dengan kebaikan-kebaikan yang ada pada dirimu!”
“Mengapa Pahit Lidah? Bukankah engkau pun begitu terhadap semua orang yang bahkan tak berdosa padamu?”
“Iya, itu dulu ketika aku baru mendapatkan ilmu sakti yang kuperoleh selama bertahun-tahun bertapa di bawah pohon bambu. Tapi setelah aku terperangkap dalam sebuah buku dongeng, aku mulai sadar dan berhenti untuk mengutuk siapapun. Oleh karena itu aku dapat hadir di hadapanmu gadis manis.” Suasana hening sesaat sang gadis menatap dalam sang Pahit Lidah.
“Pahit Lidah, bolehkah aku bertanya padamu?”
“Tentang apa itu gadis manis?”, sahut Si Pahit Lidah seraya merangkul tubuh mungil itu.
“Mengapa kau selalu mengutuk setiap orang yang kau lalui, padahal mereka kan tidak punya salah?”
“Hmm, itu sajakah yang ingin kau tanyakan padaku?”
Si gadis Manis hanya mengangguk sambil tersenyum manja.
“Karena aku sakit hati dengan saudara iparku yang bernama Aria Tebing dan isteriku sendiri.”
“Mengapa engkau sakit hati dengan mereka?”, sela gadis itu dengan nada penasaran sebelum Pahit Lidah meneruskan ceritanya.
“Hmm, aku sakit hati karena telah dikhianati oleh isteriku akan kelemahan diriku.”
“Ohh kasihan engkau Pahit Lidah, aku tak menyangka seorang isterimu bisa mengkhianati suaminya sendiri.“
“Begitulah kehidupan sayang, tak semua orang itu baik hatinya. Mungkin kau pernah mendengar pepatah dalamnya laut bisa kau ukur, tapi dalamnya hati siapa yang tahu?“
“Iya Pahit Lidah, teman-temanku tak ada yang baik. Mereka jahat semua, makanya aku ingin memberi pelajaran buat mereka.”
“Jangan sayang! Kau ingin tahu mengapa aku bisa berada dihadapanmu sekarang?”
“Kenapa?”
“Karena aku telah bersumpah dan memohon kepada Tuhan, jika aku bisa keluar dari buku dongeng yang kau genggam sekarang itu aku akan menggunakan kekuatanku untuk hal-hal yang baik saja.”
“Kenapa? Apakah kau sudah bosan mengutuk mereka dengan kesaktianmu?”
“Oh, tidak gadis manis. Bukan itu yang kuinginkan, aku hanya..”, Si Pahit Lidah terdiam sejenak.
“Hanya apa?”
“Aku hanya ingin menemanimu sayang, disaat teman-temanmu menjahati dan menjauhi dirimu. Aku tak tega mendengar teriak tangisan kecilmu.”
“Niatmu tulus, Pahit Lidah.”
“Dari mana kau tahu aku tulus?”
“Karena Tuhan mengabulkan doamu.”
“Anak pintar, jadi tak perlu lagi aku berusaha membuatmu percaya padaku bahwa aku tulus ingin menemanimu.”
“Oh ya Pahit Lidah, bolehkah aku bertanya satu lagi padamu?”
“Apa itu, manis?”, sahut Pahit Lidah seraya merenggangkan rangkulan tangannya dari tubuh gadis itu.
“Hmm, aku pernah membaca sedikit tentang kebaikan-kebaikanmu Pahit Lidah. Dan sekarang aku ingin mendengar dari mulutmu sendiri.”
“Baiklah gadis manis. Dahulu aku pernah menolong sepasang suami isteri yang sudah lanjut usia, bahkan ompong untuk bisa memiliki seorang anak.“
“Sungguh?”, sambar gadis itu dengan menatap tajam mata Si Pahit Lidah. Si Pahit Lidah hanya mengangguk membalas tatapan gadis kecilnya.
“Sekarang sudah malam, waktunya kau tidur. Esok kau harus pergi ke sekolah”, kata Si Pahit Lidah sambil mengelus kepala bocah yang mengangguk hendak beranjak ke tempat tidur.
Malam itu terasa panjang bagi gadis manis yang bernama Valya. Ia merasa senang bisa berhadapan langsung dengan Si Pahit Lidah, entah itu mimpi atau nyata.
Pesan moral :
* Jangan terlalu percaya kepada orang lain,
* Jangan membalas kejahatan dengan kejahatan pula,tetapi balaslah kejahatan itu dengan kebaikan
* Gunakan kelebihan yang kita punya untuk kebaikan
TEKNIK IMPROVISASI MUSIK
Dalam memainkan sebuah alat musik bernada, kehebatan seorang musisi dalam membawa pendengarnya menghayati sebuah lagu tergantung pada banyak hal. Hal-hal yang sangat penting diperhatikan diantaranya sebagai berikut:
1. Teknik Improvisasi
Beberapa tekniknya antara lain:
a. Glisando
Memainkan nada-nada secara berurutan, baik dari rendah ke tinggi dan sebaliknya
b. Artikulasi
Membunyikan setiap not dengan jelas, tegas, dan benar
c. Double Not
Membunyikan 2 nada sekaligus yang terdapat dalam sebuah Accord
d. Arpeggio
Memainkan nada-nada secara berurutan, baik dari rendah ke tinggi dan sebaliknya. Hampir sama dengan Glisando, namun nada-nada dalam Arpeggio biasanya adalah nada-nada pembentuk Chord
e. Conjunc Motion
Pergerakan melodi yang setiap nadanya berhubungan dengan nada-nada terdekat
f. Paralel Motion
Memainkan nada-demi nada secara bersama-sama dalam setiap interval
g. Contrary Motion
Memainkan beberapa bagian nada dimana yang satu menunju pada jenjang yang lebih tinggi, sedang bagian berikutnya menurun
2. Teknik Dinamika
a. Tremolo
Memainkan setiap notasi dengan cara cepat dan berulang-ulang
b. Cresendo
Memainkan rangkaian notasi dengan artikulasi semakin lama semakin keras
c. Decresendo
Memainkan rangkaian notasi dengan artikulasi semakin lama semakin lembut
d. Aksentuasi
Memainkan bagian-bagian nada dengan penguatan tertentu
e. Legato
Memainkan notasi-notasi panjang dalam setiap pola improvisasi
f. Vibration
Memainkan notasi-notasi secara bergetar dan bergelombang
g. Stacato
Memainkan notasi-notasi secara terputus-putus
3. Penghayatan-Ekspresi
Hal yang tidak kalah pentingnya, adalah memberikan penghayatan pada sebuah lagu yang sedang dimainkan. Hal ini tentu saja bergantung pada lagu yang sedang dimainkan. Misalnya;
a. Memainkan lagu Melankolis/Mello ekspresi wajah dan gerakan tubuh lembut
b. Memainkan lagu Anak ekspresi wajah dan gerakan tubuh riang
c. Memainkan lagu Rohani ekspresi wajah dan gerakan tubuh tenang dan hikmat
d. Memainkan lagu Rock n Roll ekspresi wajah dan gerakan tubuh berjingkrak
e. Memainkan lagu Metal/Keras ekspresi wajah dan gerakan tubuh Dinamis
Dan sebagainya
Untuk mendapatkan Penghayatan yang dapat membawa penonton dalam alunan musik yang sedang dimainkannya, maka seorang musisi setidaknya memperhatikan hal-hal di bawah ini:
a. Memainkan musik secara un-visual (tidak melihat jari, buku, atau alat musiknya)
b. Memahami lirik lagu yang sedang dimainkan
c. Menokohkan dirinya sebagai tokoh dalam lagunya
d. Memahami hakikat bahwa sesungguhnya musik adalah produk hati. Jika kita bisa memainkan musik dengan hati, bukan otak, maka pendengar akan bisa meresapi dan merasakan permainan kita di dalam hatinya
e. Menguasai teori musik yang dibutuhkan
f. Melakukan improvisasi yang tepat (tidak terlalu sedikit ataupun terlalu banyak)
1. Teknik Improvisasi
Beberapa tekniknya antara lain:
a. Glisando
Memainkan nada-nada secara berurutan, baik dari rendah ke tinggi dan sebaliknya
b. Artikulasi
Membunyikan setiap not dengan jelas, tegas, dan benar
c. Double Not
Membunyikan 2 nada sekaligus yang terdapat dalam sebuah Accord
d. Arpeggio
Memainkan nada-nada secara berurutan, baik dari rendah ke tinggi dan sebaliknya. Hampir sama dengan Glisando, namun nada-nada dalam Arpeggio biasanya adalah nada-nada pembentuk Chord
e. Conjunc Motion
Pergerakan melodi yang setiap nadanya berhubungan dengan nada-nada terdekat
f. Paralel Motion
Memainkan nada-demi nada secara bersama-sama dalam setiap interval
g. Contrary Motion
Memainkan beberapa bagian nada dimana yang satu menunju pada jenjang yang lebih tinggi, sedang bagian berikutnya menurun
2. Teknik Dinamika
a. Tremolo
Memainkan setiap notasi dengan cara cepat dan berulang-ulang
b. Cresendo
Memainkan rangkaian notasi dengan artikulasi semakin lama semakin keras
c. Decresendo
Memainkan rangkaian notasi dengan artikulasi semakin lama semakin lembut
d. Aksentuasi
Memainkan bagian-bagian nada dengan penguatan tertentu
e. Legato
Memainkan notasi-notasi panjang dalam setiap pola improvisasi
f. Vibration
Memainkan notasi-notasi secara bergetar dan bergelombang
g. Stacato
Memainkan notasi-notasi secara terputus-putus
3. Penghayatan-Ekspresi
Hal yang tidak kalah pentingnya, adalah memberikan penghayatan pada sebuah lagu yang sedang dimainkan. Hal ini tentu saja bergantung pada lagu yang sedang dimainkan. Misalnya;
a. Memainkan lagu Melankolis/Mello ekspresi wajah dan gerakan tubuh lembut
b. Memainkan lagu Anak ekspresi wajah dan gerakan tubuh riang
c. Memainkan lagu Rohani ekspresi wajah dan gerakan tubuh tenang dan hikmat
d. Memainkan lagu Rock n Roll ekspresi wajah dan gerakan tubuh berjingkrak
e. Memainkan lagu Metal/Keras ekspresi wajah dan gerakan tubuh Dinamis
Dan sebagainya
Untuk mendapatkan Penghayatan yang dapat membawa penonton dalam alunan musik yang sedang dimainkannya, maka seorang musisi setidaknya memperhatikan hal-hal di bawah ini:
a. Memainkan musik secara un-visual (tidak melihat jari, buku, atau alat musiknya)
b. Memahami lirik lagu yang sedang dimainkan
c. Menokohkan dirinya sebagai tokoh dalam lagunya
d. Memahami hakikat bahwa sesungguhnya musik adalah produk hati. Jika kita bisa memainkan musik dengan hati, bukan otak, maka pendengar akan bisa meresapi dan merasakan permainan kita di dalam hatinya
e. Menguasai teori musik yang dibutuhkan
f. Melakukan improvisasi yang tepat (tidak terlalu sedikit ataupun terlalu banyak)
TEKNIK IMPROVISASI MUSIK
Nada standar adalah frekuensi umum atau nada dimana semua instrumen musik distandarkan. Nada Standar sekarang adalah A 440 atau C 523.3 dan ketinggian nada ini memungkinkan para pemusik untuk bermain instrumen bersama secara harmonis.
Suatu bentuk ketinggian nada sudah ada sejak 2 individu ingin bermain 2 alat musik bersama atau menyanyi diiringi suatu alat. Suatu garpu nada biasanya dipakai untuk menentukan tinggi nada. Meski demikian, dahulu pipa-pipa tinggi nada telah dipakai, dan kini garpu nada elektronik juga dipakai, tapi yang umum adalah garpu nada biasa.
Garpu nada diciptakan John Shore tahun 1711 dan mempunyai tinggi nada A 423.5. Ia adalah Sersan ahli trompet untuk istana, dan juga ahli suling dari Kapel Royal. Tentu saja begitu anda sudah mempunyai A atau C disesuaikan tinggi nada, instrumen-instrumen yang lain harus disesuaikan nadanya. Sebuah timbangan ditaruh di tengah dan timbangan ini juga menentukan tinggi nada dari semua 12 nada dalam Oktaf.
Sistem yang paling umum dipakai kini adalah diketahui sebagai temperamen sama rata (equal temperament/balance) . Ini menyetel tinggi nada dari 12 nada sehingga pemain dapat memainkan semua insrtumen dari semua tuts dengan membagi kekasarannya sama rata antara 12 nada. Kekasarannya disebut “srigala”. Istilah ini didapat mungkin karena kalau “srigala” tidak disetel dengan benar. Instrumen akan menyalak di luar nada. Seperti tinggi nada A440 , temperamen equal bukanlah satu-satunya timbangan nada yang telah dipakai. Ptolemy mulai memakai ‘hanya intonasi’ di tahun136 AD. Penyetelan “meantone” sudah disempurnakan oleh Salinas di tahun 1577 AD. Temperamen equal dianjurkan oleh Aristoxenus, murid Aristotle, dan sudah sipakai di Cina beberapa abad sebelumnya. Temperamen equal nampaknya telah dipakai di Jerman Utara awalnya tahun 1690.
Di tahun 1842 organ di St.Nicholas, di New Castle dan Tyne, disetel ke temperamen equal, dan ini dipercaya adalah organ pertama yang disetel demikian di Inggris untuk konser. Willis pembuat organ tak memakai temperamen sama rata samapai 1854. Sungguhpun demikian tahun 1846 Walter Broadwood menyuruh Mr. Hipkins Kepala penyetel piano di perusahaan untuk menginstruksi penyetel-penyetel untuk memakai temperamen sama rata. Mr. Hipkins memakai 2 garpu nada, satu untuk Meantone pada A 433.5 dan satu untuk temperamen sama rata pada A 436. Meantone adalah timbangan yang paling sering dipakai saat itu. Lihat Ed Foote untuk informasi tambahan untuk pemakaian Meantone untuk piano- piano masa kini. Pemusik-pemusik bukanlah satu-satunya orang yang bekerja dengan tinggi nada.
Tahun 583 BC, seorang filosof bernama Pythagoras menggunakan Monochord. Alat ini adalah hanya suatu kotak suara dengan tali tunggal ditarik diatas jembatan yang bisa dipindahkan, posisinya yang ditentukan oleh sebuah timbangan yang ditandai di kotak suara. Ini lebih merupakan alat ilmu pengetahuan dibanding alat musik. Sebelum waktu ini orang Mesir dan Yunani memakai Monochord. Selama 5000 tahun, alat tersebut dipakai untuk membuat kalkulasi matematik yang rumit. Jumlah antara dan banyak fakta-fakta lain yang merupakan dasar-dasar ilmu akustik diketemukan memakai Monochord (tali tunggal). Phytagoras memakai tinggi nada 256 HZ pada Monochord-nya. Pelajaran matematik merupakan pelajaran filosofi pada zaman Plato. Ilmu pengetahuan modern mulai mengukur ketepatan tinggi nada dengan cps atau putaran per detik di tahun 1834 ketika suatu kelompok ahli Ilmu Alam Jerman yang terkenal memakai alat Stroboscopic. Mesin menemukan bahwa tinggi nada garpu nada yang mereka uji adalah A 440 cps. Baru kemudian frekuensi diukur dengan Hz. nbsp; Pelajar-pelajar yang sudah mempelajari instrumen- instrumen bersejarah menyatakan bahwa tinggi nada dari nada “A” di abad 17 dapat bervariasi antara 373.7 Hz sampai 402.9 Hz.
Suatu bentuk ketinggian nada sudah ada sejak 2 individu ingin bermain 2 alat musik bersama atau menyanyi diiringi suatu alat. Suatu garpu nada biasanya dipakai untuk menentukan tinggi nada. Meski demikian, dahulu pipa-pipa tinggi nada telah dipakai, dan kini garpu nada elektronik juga dipakai, tapi yang umum adalah garpu nada biasa.
Garpu nada diciptakan John Shore tahun 1711 dan mempunyai tinggi nada A 423.5. Ia adalah Sersan ahli trompet untuk istana, dan juga ahli suling dari Kapel Royal. Tentu saja begitu anda sudah mempunyai A atau C disesuaikan tinggi nada, instrumen-instrumen yang lain harus disesuaikan nadanya. Sebuah timbangan ditaruh di tengah dan timbangan ini juga menentukan tinggi nada dari semua 12 nada dalam Oktaf.
Sistem yang paling umum dipakai kini adalah diketahui sebagai temperamen sama rata (equal temperament/balance) . Ini menyetel tinggi nada dari 12 nada sehingga pemain dapat memainkan semua insrtumen dari semua tuts dengan membagi kekasarannya sama rata antara 12 nada. Kekasarannya disebut “srigala”. Istilah ini didapat mungkin karena kalau “srigala” tidak disetel dengan benar. Instrumen akan menyalak di luar nada. Seperti tinggi nada A440 , temperamen equal bukanlah satu-satunya timbangan nada yang telah dipakai. Ptolemy mulai memakai ‘hanya intonasi’ di tahun136 AD. Penyetelan “meantone” sudah disempurnakan oleh Salinas di tahun 1577 AD. Temperamen equal dianjurkan oleh Aristoxenus, murid Aristotle, dan sudah sipakai di Cina beberapa abad sebelumnya. Temperamen equal nampaknya telah dipakai di Jerman Utara awalnya tahun 1690.
Di tahun 1842 organ di St.Nicholas, di New Castle dan Tyne, disetel ke temperamen equal, dan ini dipercaya adalah organ pertama yang disetel demikian di Inggris untuk konser. Willis pembuat organ tak memakai temperamen sama rata samapai 1854. Sungguhpun demikian tahun 1846 Walter Broadwood menyuruh Mr. Hipkins Kepala penyetel piano di perusahaan untuk menginstruksi penyetel-penyetel untuk memakai temperamen sama rata. Mr. Hipkins memakai 2 garpu nada, satu untuk Meantone pada A 433.5 dan satu untuk temperamen sama rata pada A 436. Meantone adalah timbangan yang paling sering dipakai saat itu. Lihat Ed Foote untuk informasi tambahan untuk pemakaian Meantone untuk piano- piano masa kini. Pemusik-pemusik bukanlah satu-satunya orang yang bekerja dengan tinggi nada.
Tahun 583 BC, seorang filosof bernama Pythagoras menggunakan Monochord. Alat ini adalah hanya suatu kotak suara dengan tali tunggal ditarik diatas jembatan yang bisa dipindahkan, posisinya yang ditentukan oleh sebuah timbangan yang ditandai di kotak suara. Ini lebih merupakan alat ilmu pengetahuan dibanding alat musik. Sebelum waktu ini orang Mesir dan Yunani memakai Monochord. Selama 5000 tahun, alat tersebut dipakai untuk membuat kalkulasi matematik yang rumit. Jumlah antara dan banyak fakta-fakta lain yang merupakan dasar-dasar ilmu akustik diketemukan memakai Monochord (tali tunggal). Phytagoras memakai tinggi nada 256 HZ pada Monochord-nya. Pelajaran matematik merupakan pelajaran filosofi pada zaman Plato. Ilmu pengetahuan modern mulai mengukur ketepatan tinggi nada dengan cps atau putaran per detik di tahun 1834 ketika suatu kelompok ahli Ilmu Alam Jerman yang terkenal memakai alat Stroboscopic. Mesin menemukan bahwa tinggi nada garpu nada yang mereka uji adalah A 440 cps. Baru kemudian frekuensi diukur dengan Hz. nbsp; Pelajar-pelajar yang sudah mempelajari instrumen- instrumen bersejarah menyatakan bahwa tinggi nada dari nada “A” di abad 17 dapat bervariasi antara 373.7 Hz sampai 402.9 Hz.
TEKNIK IMPROVISASI MUSIK
Nada standar adalah frekuensi umum atau nada dimana semua instrumen musik distandarkan. Nada Standar sekarang adalah A 440 atau C 523.3 dan ketinggian nada ini memungkinkan para pemusik untuk bermain instrumen bersama secara harmonis.
Suatu bentuk ketinggian nada sudah ada sejak 2 individu ingin bermain 2 alat musik bersama atau menyanyi diiringi suatu alat. Suatu garpu nada biasanya dipakai untuk menentukan tinggi nada. Meski demikian, dahulu pipa-pipa tinggi nada telah dipakai, dan kini garpu nada elektronik juga dipakai, tapi yang umum adalah garpu nada biasa.
Garpu nada diciptakan John Shore tahun 1711 dan mempunyai tinggi nada A 423.5. Ia adalah Sersan ahli trompet untuk istana, dan juga ahli suling dari Kapel Royal. Tentu saja begitu anda sudah mempunyai A atau C disesuaikan tinggi nada, instrumen-instrumen yang lain harus disesuaikan nadanya. Sebuah timbangan ditaruh di tengah dan timbangan ini juga menentukan tinggi nada dari semua 12 nada dalam Oktaf.
Sistem yang paling umum dipakai kini adalah diketahui sebagai temperamen sama rata (equal temperament/balance) . Ini menyetel tinggi nada dari 12 nada sehingga pemain dapat memainkan semua insrtumen dari semua tuts dengan membagi kekasarannya sama rata antara 12 nada. Kekasarannya disebut “srigala”. Istilah ini didapat mungkin karena kalau “srigala” tidak disetel dengan benar. Instrumen akan menyalak di luar nada. Seperti tinggi nada A440 , temperamen equal bukanlah satu-satunya timbangan nada yang telah dipakai. Ptolemy mulai memakai ‘hanya intonasi’ di tahun136 AD. Penyetelan “meantone” sudah disempurnakan oleh Salinas di tahun 1577 AD. Temperamen equal dianjurkan oleh Aristoxenus, murid Aristotle, dan sudah sipakai di Cina beberapa abad sebelumnya. Temperamen equal nampaknya telah dipakai di Jerman Utara awalnya tahun 1690.
Di tahun 1842 organ di St.Nicholas, di New Castle dan Tyne, disetel ke temperamen equal, dan ini dipercaya adalah organ pertama yang disetel demikian di Inggris untuk konser. Willis pembuat organ tak memakai temperamen sama rata samapai 1854. Sungguhpun demikian tahun 1846 Walter Broadwood menyuruh Mr. Hipkins Kepala penyetel piano di perusahaan untuk menginstruksi penyetel-penyetel untuk memakai temperamen sama rata. Mr. Hipkins memakai 2 garpu nada, satu untuk Meantone pada A 433.5 dan satu untuk temperamen sama rata pada A 436. Meantone adalah timbangan yang paling sering dipakai saat itu. Lihat Ed Foote untuk informasi tambahan untuk pemakaian Meantone untuk piano- piano masa kini. Pemusik-pemusik bukanlah satu-satunya orang yang bekerja dengan tinggi nada.
Tahun 583 BC, seorang filosof bernama Pythagoras menggunakan Monochord. Alat ini adalah hanya suatu kotak suara dengan tali tunggal ditarik diatas jembatan yang bisa dipindahkan, posisinya yang ditentukan oleh sebuah timbangan yang ditandai di kotak suara. Ini lebih merupakan alat ilmu pengetahuan dibanding alat musik. Sebelum waktu ini orang Mesir dan Yunani memakai Monochord. Selama 5000 tahun, alat tersebut dipakai untuk membuat kalkulasi matematik yang rumit. Jumlah antara dan banyak fakta-fakta lain yang merupakan dasar-dasar ilmu akustik diketemukan memakai Monochord (tali tunggal). Phytagoras memakai tinggi nada 256 HZ pada Monochord-nya. Pelajaran matematik merupakan pelajaran filosofi pada zaman Plato. Ilmu pengetahuan modern mulai mengukur ketepatan tinggi nada dengan cps atau putaran per detik di tahun 1834 ketika suatu kelompok ahli Ilmu Alam Jerman yang terkenal memakai alat Stroboscopic. Mesin menemukan bahwa tinggi nada garpu nada yang mereka uji adalah A 440 cps. Baru kemudian frekuensi diukur dengan Hz. nbsp; Pelajar-pelajar yang sudah mempelajari instrumen- instrumen bersejarah menyatakan bahwa tinggi nada dari nada “A” di abad 17 dapat bervariasi antara 373.7 Hz sampai 402.9 Hz.
Suatu bentuk ketinggian nada sudah ada sejak 2 individu ingin bermain 2 alat musik bersama atau menyanyi diiringi suatu alat. Suatu garpu nada biasanya dipakai untuk menentukan tinggi nada. Meski demikian, dahulu pipa-pipa tinggi nada telah dipakai, dan kini garpu nada elektronik juga dipakai, tapi yang umum adalah garpu nada biasa.
Garpu nada diciptakan John Shore tahun 1711 dan mempunyai tinggi nada A 423.5. Ia adalah Sersan ahli trompet untuk istana, dan juga ahli suling dari Kapel Royal. Tentu saja begitu anda sudah mempunyai A atau C disesuaikan tinggi nada, instrumen-instrumen yang lain harus disesuaikan nadanya. Sebuah timbangan ditaruh di tengah dan timbangan ini juga menentukan tinggi nada dari semua 12 nada dalam Oktaf.
Sistem yang paling umum dipakai kini adalah diketahui sebagai temperamen sama rata (equal temperament/balance) . Ini menyetel tinggi nada dari 12 nada sehingga pemain dapat memainkan semua insrtumen dari semua tuts dengan membagi kekasarannya sama rata antara 12 nada. Kekasarannya disebut “srigala”. Istilah ini didapat mungkin karena kalau “srigala” tidak disetel dengan benar. Instrumen akan menyalak di luar nada. Seperti tinggi nada A440 , temperamen equal bukanlah satu-satunya timbangan nada yang telah dipakai. Ptolemy mulai memakai ‘hanya intonasi’ di tahun136 AD. Penyetelan “meantone” sudah disempurnakan oleh Salinas di tahun 1577 AD. Temperamen equal dianjurkan oleh Aristoxenus, murid Aristotle, dan sudah sipakai di Cina beberapa abad sebelumnya. Temperamen equal nampaknya telah dipakai di Jerman Utara awalnya tahun 1690.
Di tahun 1842 organ di St.Nicholas, di New Castle dan Tyne, disetel ke temperamen equal, dan ini dipercaya adalah organ pertama yang disetel demikian di Inggris untuk konser. Willis pembuat organ tak memakai temperamen sama rata samapai 1854. Sungguhpun demikian tahun 1846 Walter Broadwood menyuruh Mr. Hipkins Kepala penyetel piano di perusahaan untuk menginstruksi penyetel-penyetel untuk memakai temperamen sama rata. Mr. Hipkins memakai 2 garpu nada, satu untuk Meantone pada A 433.5 dan satu untuk temperamen sama rata pada A 436. Meantone adalah timbangan yang paling sering dipakai saat itu. Lihat Ed Foote untuk informasi tambahan untuk pemakaian Meantone untuk piano- piano masa kini. Pemusik-pemusik bukanlah satu-satunya orang yang bekerja dengan tinggi nada.
Tahun 583 BC, seorang filosof bernama Pythagoras menggunakan Monochord. Alat ini adalah hanya suatu kotak suara dengan tali tunggal ditarik diatas jembatan yang bisa dipindahkan, posisinya yang ditentukan oleh sebuah timbangan yang ditandai di kotak suara. Ini lebih merupakan alat ilmu pengetahuan dibanding alat musik. Sebelum waktu ini orang Mesir dan Yunani memakai Monochord. Selama 5000 tahun, alat tersebut dipakai untuk membuat kalkulasi matematik yang rumit. Jumlah antara dan banyak fakta-fakta lain yang merupakan dasar-dasar ilmu akustik diketemukan memakai Monochord (tali tunggal). Phytagoras memakai tinggi nada 256 HZ pada Monochord-nya. Pelajaran matematik merupakan pelajaran filosofi pada zaman Plato. Ilmu pengetahuan modern mulai mengukur ketepatan tinggi nada dengan cps atau putaran per detik di tahun 1834 ketika suatu kelompok ahli Ilmu Alam Jerman yang terkenal memakai alat Stroboscopic. Mesin menemukan bahwa tinggi nada garpu nada yang mereka uji adalah A 440 cps. Baru kemudian frekuensi diukur dengan Hz. nbsp; Pelajar-pelajar yang sudah mempelajari instrumen- instrumen bersejarah menyatakan bahwa tinggi nada dari nada “A” di abad 17 dapat bervariasi antara 373.7 Hz sampai 402.9 Hz.
NADA STANDAR
Nada standar adalah frekuensi umum atau nada dimana semua instrumen musik distandarkan. Nada Standar sekarang adalah A 440 atau C 523.3 dan ketinggian nada ini memungkinkan para pemusik untuk bermain instrumen bersama secara harmonis.
Suatu bentuk ketinggian nada sudah ada sejak 2 individu ingin bermain 2 alat musik bersama atau menyanyi diiringi suatu alat. Suatu garpu nada biasanya dipakai untuk menentukan tinggi nada. Meski demikian, dahulu pipa-pipa tinggi nada telah dipakai, dan kini garpu nada elektronik juga dipakai, tapi yang umum adalah garpu nada biasa.
Garpu nada diciptakan John Shore tahun 1711 dan mempunyai tinggi nada A 423.5. Ia adalah Sersan ahli trompet untuk istana, dan juga ahli suling dari Kapel Royal. Tentu saja begitu anda sudah mempunyai A atau C disesuaikan tinggi nada, instrumen-instrumen yang lain harus disesuaikan nadanya. Sebuah timbangan ditaruh di tengah dan timbangan ini juga menentukan tinggi nada dari semua 12 nada dalam Oktaf.
Sistem yang paling umum dipakai kini adalah diketahui sebagai temperamen sama rata (equal temperament/balance) . Ini menyetel tinggi nada dari 12 nada sehingga pemain dapat memainkan semua insrtumen dari semua tuts dengan membagi kekasarannya sama rata antara 12 nada. Kekasarannya disebut “srigala”. Istilah ini didapat mungkin karena kalau “srigala” tidak disetel dengan benar. Instrumen akan menyalak di luar nada. Seperti tinggi nada A440 , temperamen equal bukanlah satu-satunya timbangan nada yang telah dipakai. Ptolemy mulai memakai ‘hanya intonasi’ di tahun136 AD. Penyetelan “meantone” sudah disempurnakan oleh Salinas di tahun 1577 AD. Temperamen equal dianjurkan oleh Aristoxenus, murid Aristotle, dan sudah sipakai di Cina beberapa abad sebelumnya. Temperamen equal nampaknya telah dipakai di Jerman Utara awalnya tahun 1690.
Di tahun 1842 organ di St.Nicholas, di New Castle dan Tyne, disetel ke temperamen equal, dan ini dipercaya adalah organ pertama yang disetel demikian di Inggris untuk konser. Willis pembuat organ tak memakai temperamen sama rata samapai 1854. Sungguhpun demikian tahun 1846 Walter Broadwood menyuruh Mr. Hipkins Kepala penyetel piano di perusahaan untuk menginstruksi penyetel-penyetel untuk memakai temperamen sama rata. Mr. Hipkins memakai 2 garpu nada, satu untuk Meantone pada A 433.5 dan satu untuk temperamen sama rata pada A 436. Meantone adalah timbangan yang paling sering dipakai saat itu. Lihat Ed Foote untuk informasi tambahan untuk pemakaian Meantone untuk piano- piano masa kini. Pemusik-pemusik bukanlah satu-satunya orang yang bekerja dengan tinggi nada.
Tahun 583 BC, seorang filosof bernama Pythagoras menggunakan Monochord. Alat ini adalah hanya suatu kotak suara dengan tali tunggal ditarik diatas jembatan yang bisa dipindahkan, posisinya yang ditentukan oleh sebuah timbangan yang ditandai di kotak suara. Ini lebih merupakan alat ilmu pengetahuan dibanding alat musik. Sebelum waktu ini orang Mesir dan Yunani memakai Monochord. Selama 5000 tahun, alat tersebut dipakai untuk membuat kalkulasi matematik yang rumit. Jumlah antara dan banyak fakta-fakta lain yang merupakan dasar-dasar ilmu akustik diketemukan memakai Monochord (tali tunggal). Phytagoras memakai tinggi nada 256 HZ pada Monochord-nya. Pelajaran matematik merupakan pelajaran filosofi pada zaman Plato. Ilmu pengetahuan modern mulai mengukur ketepatan tinggi nada dengan cps atau putaran per detik di tahun 1834 ketika suatu kelompok ahli Ilmu Alam Jerman yang terkenal memakai alat Stroboscopic. Mesin menemukan bahwa tinggi nada garpu nada yang mereka uji adalah A 440 cps. Baru kemudian frekuensi diukur dengan Hz. nbsp; Pelajar-pelajar yang sudah mempelajari instrumen- instrumen bersejarah menyatakan bahwa tinggi nada dari nada “A” di abad 17 dapat bervariasi antara 373.7 Hz sampai 402.9 Hz.
Suatu bentuk ketinggian nada sudah ada sejak 2 individu ingin bermain 2 alat musik bersama atau menyanyi diiringi suatu alat. Suatu garpu nada biasanya dipakai untuk menentukan tinggi nada. Meski demikian, dahulu pipa-pipa tinggi nada telah dipakai, dan kini garpu nada elektronik juga dipakai, tapi yang umum adalah garpu nada biasa.
Garpu nada diciptakan John Shore tahun 1711 dan mempunyai tinggi nada A 423.5. Ia adalah Sersan ahli trompet untuk istana, dan juga ahli suling dari Kapel Royal. Tentu saja begitu anda sudah mempunyai A atau C disesuaikan tinggi nada, instrumen-instrumen yang lain harus disesuaikan nadanya. Sebuah timbangan ditaruh di tengah dan timbangan ini juga menentukan tinggi nada dari semua 12 nada dalam Oktaf.
Sistem yang paling umum dipakai kini adalah diketahui sebagai temperamen sama rata (equal temperament/balance) . Ini menyetel tinggi nada dari 12 nada sehingga pemain dapat memainkan semua insrtumen dari semua tuts dengan membagi kekasarannya sama rata antara 12 nada. Kekasarannya disebut “srigala”. Istilah ini didapat mungkin karena kalau “srigala” tidak disetel dengan benar. Instrumen akan menyalak di luar nada. Seperti tinggi nada A440 , temperamen equal bukanlah satu-satunya timbangan nada yang telah dipakai. Ptolemy mulai memakai ‘hanya intonasi’ di tahun136 AD. Penyetelan “meantone” sudah disempurnakan oleh Salinas di tahun 1577 AD. Temperamen equal dianjurkan oleh Aristoxenus, murid Aristotle, dan sudah sipakai di Cina beberapa abad sebelumnya. Temperamen equal nampaknya telah dipakai di Jerman Utara awalnya tahun 1690.
Di tahun 1842 organ di St.Nicholas, di New Castle dan Tyne, disetel ke temperamen equal, dan ini dipercaya adalah organ pertama yang disetel demikian di Inggris untuk konser. Willis pembuat organ tak memakai temperamen sama rata samapai 1854. Sungguhpun demikian tahun 1846 Walter Broadwood menyuruh Mr. Hipkins Kepala penyetel piano di perusahaan untuk menginstruksi penyetel-penyetel untuk memakai temperamen sama rata. Mr. Hipkins memakai 2 garpu nada, satu untuk Meantone pada A 433.5 dan satu untuk temperamen sama rata pada A 436. Meantone adalah timbangan yang paling sering dipakai saat itu. Lihat Ed Foote untuk informasi tambahan untuk pemakaian Meantone untuk piano- piano masa kini. Pemusik-pemusik bukanlah satu-satunya orang yang bekerja dengan tinggi nada.
Tahun 583 BC, seorang filosof bernama Pythagoras menggunakan Monochord. Alat ini adalah hanya suatu kotak suara dengan tali tunggal ditarik diatas jembatan yang bisa dipindahkan, posisinya yang ditentukan oleh sebuah timbangan yang ditandai di kotak suara. Ini lebih merupakan alat ilmu pengetahuan dibanding alat musik. Sebelum waktu ini orang Mesir dan Yunani memakai Monochord. Selama 5000 tahun, alat tersebut dipakai untuk membuat kalkulasi matematik yang rumit. Jumlah antara dan banyak fakta-fakta lain yang merupakan dasar-dasar ilmu akustik diketemukan memakai Monochord (tali tunggal). Phytagoras memakai tinggi nada 256 HZ pada Monochord-nya. Pelajaran matematik merupakan pelajaran filosofi pada zaman Plato. Ilmu pengetahuan modern mulai mengukur ketepatan tinggi nada dengan cps atau putaran per detik di tahun 1834 ketika suatu kelompok ahli Ilmu Alam Jerman yang terkenal memakai alat Stroboscopic. Mesin menemukan bahwa tinggi nada garpu nada yang mereka uji adalah A 440 cps. Baru kemudian frekuensi diukur dengan Hz. nbsp; Pelajar-pelajar yang sudah mempelajari instrumen- instrumen bersejarah menyatakan bahwa tinggi nada dari nada “A” di abad 17 dapat bervariasi antara 373.7 Hz sampai 402.9 Hz.
SEJARAH PEWAYANGAN DI INDONESIA
wayang berasal dari kata wayangan yaitu sumber ilham dalam menggambar wujud tokoh dan cerita sehingga bisa tergambar jelas dalam batin si penggambar karena sumber aslinya telah hilang di awalnya, wayang adalah bagian dari kegiatan religi animisme
menyembah ‘hyang’, itulah inti-nya dilakukan antara lain di saat-saat panenan atau taneman dalam bentuk upacara ruwatan, tingkeban, ataupun ‘merti desa’ agar panen berhasil atau pun agar desa terhindar dari segala di tahun (898 – 910) M
wayang sudah menjadi wayang purwa amun tetap masih ditujukan untuk menyembah para sanghyang seperti yang tertulis dalam prasasti balitung sigaligi mawayang buat hyang, macarita bhima ya kumara terjemahan kasaran-nya kira-kira begini :
menggelar wayang untuk para hyang tentang bima sang kumara)
di jaman mataram hindu ini, ramayana dari india berhasil dituliskan dalam bahasa jawa kuna (kawi) pada masa raja darmawangsa, 996 – 1042 M mahabharata yang berbahasa sansekerta delapan belas parwa dirakit menjadi sembilan parwa bahasa jawa kuna lalu arjuna wiwaha berhasil disusun oleh mpu kanwa di masa raja erlangga sampai di jaman kerajaan kediri dan raja jayabaya mpu sedah mulai menyusun serat bharatayuda yang lalu diselesaikan oleh mpu panuluh tak puas dengan itu saja, mpu panuluh lalu menyusun serat hariwangsa dan kemudian serat gatutkacasraya menurut serat centhini, sang jayabaya lah yang memerintahkan menuliskan ke rontal (daun lontar, disusun seperti kerai, disatukan dengan tali) di jaman awal majapahit wayang digambar di kertas jawi dan sudah dilengkapi dengan berbagai hiasan pakaian masa-masa awal abad sepuluh bisa kita sebut sebagai globalisasi tahap satu ke tanah jawa kepercayaan animisme mulai digeser oleh pengaruh agama hindu yang membuat ‘naik’-nya pamor tokoh ‘dewa’ yang kini ‘ditempatkan’ berada di atas ‘hyang’ abad duabelas sampai abad limabelas adalah masa ‘sekularisasi’ wayang tahap satu dengan mulai disusunnya berbagai mithos yang mengagungkan para raja sebagai keturunan langsung para dewa abad limabelas adalah dimulainya globalisasi jawa tahap dua kini pengaruh budaya islam yang mulai meresap tanpa terasa dan pada awal abad keenambelas berdirilah kerajaan demak ( 1500 – 1550 M )
ternyata banyak kaidah wayang yang berbenturan dengan ajaran islam maka raden patah memerintahkan mengubah beberapa aturan wayang yang segera dilaksanakan oleh para wali secara gotongroyong wayang beber karya prabangkara (jaman majapahit) segera direka-ulang dibuat dari kulit kerbau yang (di wilayah kerajaan demak masa itu, sapi tidak boleh dipotong untuk menghormati penganut hindu yang masih banyak agar tidak terjadi kerusuhan berthema sara . . .
gambar dibuat menyamping, tangan dipanjangkan, digapit dengan penguat tanduk kerbau, dan disimping sunan bonang menyusun struktur dramatika-nya sunan prawata menambahkan tokoh raksasa dan kera dan juga menambahkan beberapa skenario cerita
raden patah menambahkan tokoh gajah dan wayang prampogan sunan kalijaga mengubah sarana pertunjukan yang awalnya dari kayu kini terdiri dari batang pisang, blencong, kotak wayang, dan gunungan sunan kudus kebagian tugas men-dalang ‘suluk’ masih tetap dipertahankan, dan ditambah dengan greget saut dan adha-adha pada masa sultan trenggana bentuk wayang semakin dipermanis lagi mata, mulut, dan telinga mulai ditatahkan (tadinya hanya digambarkan di kulit kerbau tipis) susuhunan ratu tunggal, pengganti sultan trenggana, tidak mau kalah dia ciptakan model mata liyepan dan thelengan
selain wayang purwa sang ratu juga memunculkan wayang gedhog yang hanya digelar di lingkungan dalam keraton saja sementara untuk konsumsi rakyat jelata sunan bonang menyusun wayang damarwulan aman kerajaan pajang memberikan ciri khas baru wayang gedhog dan wayang kulit mulai ditatah tiga dimensi (mulai ada lekukan pada tatahan) bentuk wayang semakin ditata :
raja dan ratu memakai mahkota/topong rambut para satria mulai ditata, memakai praba dan juga mulai ditambahkan celana dan kain di jaman ini pula lah sunan kudus memperkenalkan wayang golek dari kayu sedang sunan kalijaga menyusun wayang topeng dari kisah-kisah wayang gedog dengan demikian wayang gedog pun sudah mulai memasyarakat di luar keratin di masa mataram islam wayang semakin berkembang panembahan senapati menambahkan berbagai tokoh burung dan hewan hutan dan rambut wayang ditatah semakin halus sultan agung anyakrawati menambahkan unsur gerak pada wayang kulit pundak, siku, dan pergelangan wayang mulai diberi sendi posisi tangan berbentuk ‘nyempurit’ dengan adanya inovasi ini muncul pula tokoh baru :
cakil, tokoh raksasa bertubuh ramping yang sangat gesit dan cekatan sultan agung anyakrakusuma, pengganti beliau, ikut menyumbang bentuk mata semakin diperbanyak
dan pada beberapa tokoh dibuat beberapa wanda (bentuk) setelah semua selesai dilaksanakan, diciptakan seorang tokoh baru raksasa berambut merah bertaji seperti kuku yang akhirnya disebut ‘buta prapatan’ atau ‘buta rambutgeni’ berbagai inovasi dan reka-ulang wayang masih terus berlangsung dari jaman mataram islam sampai jaman sekarang
a.l. dengan munculnya ide-ide ‘nyeleneh’ para dhalang berbagai peralatan elektronis mulai ikut berperan dalam tata panggung maupun perangkat gamelan begitu pula dalam hal tata pakaian yang dikenakan oleh ki dhalang, pesinden, maupun para juru karawitan
dalam hal skenario-nya pun senantiasa ada pergeseran sehingga kini sudah semakin sulit dihakimi mana yang cerita ‘pakem’ dan mana ‘carangan’ (cerita tentang asal-usul semar, misalnya, ada beberapa versi yang semuanya layak untuk dipelajari ) tapi siapa sih yang bisa disebut ‘berwenang menghakimi’ ? walau demikian, garis besar struktur dramatika-nya agaknya relatif tetap pathet nem, pathet sanga, lalu pathet manyura relatif standar dan tetap seperti juga mengenai inti filsafatnya sendiri : wayang adalah perlambang kehidupan kita sehari-hari
menyembah ‘hyang’, itulah inti-nya dilakukan antara lain di saat-saat panenan atau taneman dalam bentuk upacara ruwatan, tingkeban, ataupun ‘merti desa’ agar panen berhasil atau pun agar desa terhindar dari segala di tahun (898 – 910) M
wayang sudah menjadi wayang purwa amun tetap masih ditujukan untuk menyembah para sanghyang seperti yang tertulis dalam prasasti balitung sigaligi mawayang buat hyang, macarita bhima ya kumara terjemahan kasaran-nya kira-kira begini :
menggelar wayang untuk para hyang tentang bima sang kumara)
di jaman mataram hindu ini, ramayana dari india berhasil dituliskan dalam bahasa jawa kuna (kawi) pada masa raja darmawangsa, 996 – 1042 M mahabharata yang berbahasa sansekerta delapan belas parwa dirakit menjadi sembilan parwa bahasa jawa kuna lalu arjuna wiwaha berhasil disusun oleh mpu kanwa di masa raja erlangga sampai di jaman kerajaan kediri dan raja jayabaya mpu sedah mulai menyusun serat bharatayuda yang lalu diselesaikan oleh mpu panuluh tak puas dengan itu saja, mpu panuluh lalu menyusun serat hariwangsa dan kemudian serat gatutkacasraya menurut serat centhini, sang jayabaya lah yang memerintahkan menuliskan ke rontal (daun lontar, disusun seperti kerai, disatukan dengan tali) di jaman awal majapahit wayang digambar di kertas jawi dan sudah dilengkapi dengan berbagai hiasan pakaian masa-masa awal abad sepuluh bisa kita sebut sebagai globalisasi tahap satu ke tanah jawa kepercayaan animisme mulai digeser oleh pengaruh agama hindu yang membuat ‘naik’-nya pamor tokoh ‘dewa’ yang kini ‘ditempatkan’ berada di atas ‘hyang’ abad duabelas sampai abad limabelas adalah masa ‘sekularisasi’ wayang tahap satu dengan mulai disusunnya berbagai mithos yang mengagungkan para raja sebagai keturunan langsung para dewa abad limabelas adalah dimulainya globalisasi jawa tahap dua kini pengaruh budaya islam yang mulai meresap tanpa terasa dan pada awal abad keenambelas berdirilah kerajaan demak ( 1500 – 1550 M )
ternyata banyak kaidah wayang yang berbenturan dengan ajaran islam maka raden patah memerintahkan mengubah beberapa aturan wayang yang segera dilaksanakan oleh para wali secara gotongroyong wayang beber karya prabangkara (jaman majapahit) segera direka-ulang dibuat dari kulit kerbau yang (di wilayah kerajaan demak masa itu, sapi tidak boleh dipotong untuk menghormati penganut hindu yang masih banyak agar tidak terjadi kerusuhan berthema sara . . .
gambar dibuat menyamping, tangan dipanjangkan, digapit dengan penguat tanduk kerbau, dan disimping sunan bonang menyusun struktur dramatika-nya sunan prawata menambahkan tokoh raksasa dan kera dan juga menambahkan beberapa skenario cerita
raden patah menambahkan tokoh gajah dan wayang prampogan sunan kalijaga mengubah sarana pertunjukan yang awalnya dari kayu kini terdiri dari batang pisang, blencong, kotak wayang, dan gunungan sunan kudus kebagian tugas men-dalang ‘suluk’ masih tetap dipertahankan, dan ditambah dengan greget saut dan adha-adha pada masa sultan trenggana bentuk wayang semakin dipermanis lagi mata, mulut, dan telinga mulai ditatahkan (tadinya hanya digambarkan di kulit kerbau tipis) susuhunan ratu tunggal, pengganti sultan trenggana, tidak mau kalah dia ciptakan model mata liyepan dan thelengan
selain wayang purwa sang ratu juga memunculkan wayang gedhog yang hanya digelar di lingkungan dalam keraton saja sementara untuk konsumsi rakyat jelata sunan bonang menyusun wayang damarwulan aman kerajaan pajang memberikan ciri khas baru wayang gedhog dan wayang kulit mulai ditatah tiga dimensi (mulai ada lekukan pada tatahan) bentuk wayang semakin ditata :
raja dan ratu memakai mahkota/topong rambut para satria mulai ditata, memakai praba dan juga mulai ditambahkan celana dan kain di jaman ini pula lah sunan kudus memperkenalkan wayang golek dari kayu sedang sunan kalijaga menyusun wayang topeng dari kisah-kisah wayang gedog dengan demikian wayang gedog pun sudah mulai memasyarakat di luar keratin di masa mataram islam wayang semakin berkembang panembahan senapati menambahkan berbagai tokoh burung dan hewan hutan dan rambut wayang ditatah semakin halus sultan agung anyakrawati menambahkan unsur gerak pada wayang kulit pundak, siku, dan pergelangan wayang mulai diberi sendi posisi tangan berbentuk ‘nyempurit’ dengan adanya inovasi ini muncul pula tokoh baru :
cakil, tokoh raksasa bertubuh ramping yang sangat gesit dan cekatan sultan agung anyakrakusuma, pengganti beliau, ikut menyumbang bentuk mata semakin diperbanyak
dan pada beberapa tokoh dibuat beberapa wanda (bentuk) setelah semua selesai dilaksanakan, diciptakan seorang tokoh baru raksasa berambut merah bertaji seperti kuku yang akhirnya disebut ‘buta prapatan’ atau ‘buta rambutgeni’ berbagai inovasi dan reka-ulang wayang masih terus berlangsung dari jaman mataram islam sampai jaman sekarang
a.l. dengan munculnya ide-ide ‘nyeleneh’ para dhalang berbagai peralatan elektronis mulai ikut berperan dalam tata panggung maupun perangkat gamelan begitu pula dalam hal tata pakaian yang dikenakan oleh ki dhalang, pesinden, maupun para juru karawitan
dalam hal skenario-nya pun senantiasa ada pergeseran sehingga kini sudah semakin sulit dihakimi mana yang cerita ‘pakem’ dan mana ‘carangan’ (cerita tentang asal-usul semar, misalnya, ada beberapa versi yang semuanya layak untuk dipelajari ) tapi siapa sih yang bisa disebut ‘berwenang menghakimi’ ? walau demikian, garis besar struktur dramatika-nya agaknya relatif tetap pathet nem, pathet sanga, lalu pathet manyura relatif standar dan tetap seperti juga mengenai inti filsafatnya sendiri : wayang adalah perlambang kehidupan kita sehari-hari
SEJARAH PEWAYANGAN DI INDONESIA
wayang berasal dari kata wayangan yaitu sumber ilham dalam menggambar wujud tokoh dan cerita sehingga bisa tergambar jelas dalam batin si penggambar karena sumber aslinya telah hilang di awalnya, wayang adalah bagian dari kegiatan religi animisme
menyembah ‘hyang’, itulah inti-nya dilakukan antara lain di saat-saat panenan atau taneman dalam bentuk upacara ruwatan, tingkeban, ataupun ‘merti desa’ agar panen berhasil atau pun agar desa terhindar dari segala di tahun (898 – 910) M
wayang sudah menjadi wayang purwa amun tetap masih ditujukan untuk menyembah para sanghyang seperti yang tertulis dalam prasasti balitung sigaligi mawayang buat hyang, macarita bhima ya kumara terjemahan kasaran-nya kira-kira begini :
menggelar wayang untuk para hyang tentang bima sang kumara)
di jaman mataram hindu ini, ramayana dari india berhasil dituliskan dalam bahasa jawa kuna (kawi) pada masa raja darmawangsa, 996 – 1042 M mahabharata yang berbahasa sansekerta delapan belas parwa dirakit menjadi sembilan parwa bahasa jawa kuna lalu arjuna wiwaha berhasil disusun oleh mpu kanwa di masa raja erlangga sampai di jaman kerajaan kediri dan raja jayabaya mpu sedah mulai menyusun serat bharatayuda yang lalu diselesaikan oleh mpu panuluh tak puas dengan itu saja, mpu panuluh lalu menyusun serat hariwangsa dan kemudian serat gatutkacasraya menurut serat centhini, sang jayabaya lah yang memerintahkan menuliskan ke rontal (daun lontar, disusun seperti kerai, disatukan dengan tali) di jaman awal majapahit wayang digambar di kertas jawi dan sudah dilengkapi dengan berbagai hiasan pakaian masa-masa awal abad sepuluh bisa kita sebut sebagai globalisasi tahap satu ke tanah jawa kepercayaan animisme mulai digeser oleh pengaruh agama hindu yang membuat ‘naik’-nya pamor tokoh ‘dewa’ yang kini ‘ditempatkan’ berada di atas ‘hyang’ abad duabelas sampai abad limabelas adalah masa ‘sekularisasi’ wayang tahap satu dengan mulai disusunnya berbagai mithos yang mengagungkan para raja sebagai keturunan langsung para dewa abad limabelas adalah dimulainya globalisasi jawa tahap dua kini pengaruh budaya islam yang mulai meresap tanpa terasa dan pada awal abad keenambelas berdirilah kerajaan demak ( 1500 – 1550 M )
ternyata banyak kaidah wayang yang berbenturan dengan ajaran islam maka raden patah memerintahkan mengubah beberapa aturan wayang yang segera dilaksanakan oleh para wali secara gotongroyong wayang beber karya prabangkara (jaman majapahit) segera direka-ulang dibuat dari kulit kerbau yang (di wilayah kerajaan demak masa itu, sapi tidak boleh dipotong untuk menghormati penganut hindu yang masih banyak agar tidak terjadi kerusuhan berthema sara . . .
gambar dibuat menyamping, tangan dipanjangkan, digapit dengan penguat tanduk kerbau, dan disimping sunan bonang menyusun struktur dramatika-nya sunan prawata menambahkan tokoh raksasa dan kera dan juga menambahkan beberapa skenario cerita
raden patah menambahkan tokoh gajah dan wayang prampogan sunan kalijaga mengubah sarana pertunjukan yang awalnya dari kayu kini terdiri dari batang pisang, blencong, kotak wayang, dan gunungan sunan kudus kebagian tugas men-dalang ‘suluk’ masih tetap dipertahankan, dan ditambah dengan greget saut dan adha-adha pada masa sultan trenggana bentuk wayang semakin dipermanis lagi mata, mulut, dan telinga mulai ditatahkan (tadinya hanya digambarkan di kulit kerbau tipis) susuhunan ratu tunggal, pengganti sultan trenggana, tidak mau kalah dia ciptakan model mata liyepan dan thelengan
selain wayang purwa sang ratu juga memunculkan wayang gedhog yang hanya digelar di lingkungan dalam keraton saja sementara untuk konsumsi rakyat jelata sunan bonang menyusun wayang damarwulan aman kerajaan pajang memberikan ciri khas baru wayang gedhog dan wayang kulit mulai ditatah tiga dimensi (mulai ada lekukan pada tatahan) bentuk wayang semakin ditata :
raja dan ratu memakai mahkota/topong rambut para satria mulai ditata, memakai praba dan juga mulai ditambahkan celana dan kain di jaman ini pula lah sunan kudus memperkenalkan wayang golek dari kayu sedang sunan kalijaga menyusun wayang topeng dari kisah-kisah wayang gedog dengan demikian wayang gedog pun sudah mulai memasyarakat di luar keratin di masa mataram islam wayang semakin berkembang panembahan senapati menambahkan berbagai tokoh burung dan hewan hutan dan rambut wayang ditatah semakin halus sultan agung anyakrawati menambahkan unsur gerak pada wayang kulit pundak, siku, dan pergelangan wayang mulai diberi sendi posisi tangan berbentuk ‘nyempurit’ dengan adanya inovasi ini muncul pula tokoh baru :
cakil, tokoh raksasa bertubuh ramping yang sangat gesit dan cekatan sultan agung anyakrakusuma, pengganti beliau, ikut menyumbang bentuk mata semakin diperbanyak
dan pada beberapa tokoh dibuat beberapa wanda (bentuk) setelah semua selesai dilaksanakan, diciptakan seorang tokoh baru raksasa berambut merah bertaji seperti kuku yang akhirnya disebut ‘buta prapatan’ atau ‘buta rambutgeni’ berbagai inovasi dan reka-ulang wayang masih terus berlangsung dari jaman mataram islam sampai jaman sekarang
a.l. dengan munculnya ide-ide ‘nyeleneh’ para dhalang berbagai peralatan elektronis mulai ikut berperan dalam tata panggung maupun perangkat gamelan begitu pula dalam hal tata pakaian yang dikenakan oleh ki dhalang, pesinden, maupun para juru karawitan
dalam hal skenario-nya pun senantiasa ada pergeseran sehingga kini sudah semakin sulit dihakimi mana yang cerita ‘pakem’ dan mana ‘carangan’ (cerita tentang asal-usul semar, misalnya, ada beberapa versi yang semuanya layak untuk dipelajari ) tapi siapa sih yang bisa disebut ‘berwenang menghakimi’ ? walau demikian, garis besar struktur dramatika-nya agaknya relatif tetap pathet nem, pathet sanga, lalu pathet manyura relatif standar dan tetap seperti juga mengenai inti filsafatnya sendiri : wayang adalah perlambang kehidupan kita sehari-hari
menyembah ‘hyang’, itulah inti-nya dilakukan antara lain di saat-saat panenan atau taneman dalam bentuk upacara ruwatan, tingkeban, ataupun ‘merti desa’ agar panen berhasil atau pun agar desa terhindar dari segala di tahun (898 – 910) M
wayang sudah menjadi wayang purwa amun tetap masih ditujukan untuk menyembah para sanghyang seperti yang tertulis dalam prasasti balitung sigaligi mawayang buat hyang, macarita bhima ya kumara terjemahan kasaran-nya kira-kira begini :
menggelar wayang untuk para hyang tentang bima sang kumara)
di jaman mataram hindu ini, ramayana dari india berhasil dituliskan dalam bahasa jawa kuna (kawi) pada masa raja darmawangsa, 996 – 1042 M mahabharata yang berbahasa sansekerta delapan belas parwa dirakit menjadi sembilan parwa bahasa jawa kuna lalu arjuna wiwaha berhasil disusun oleh mpu kanwa di masa raja erlangga sampai di jaman kerajaan kediri dan raja jayabaya mpu sedah mulai menyusun serat bharatayuda yang lalu diselesaikan oleh mpu panuluh tak puas dengan itu saja, mpu panuluh lalu menyusun serat hariwangsa dan kemudian serat gatutkacasraya menurut serat centhini, sang jayabaya lah yang memerintahkan menuliskan ke rontal (daun lontar, disusun seperti kerai, disatukan dengan tali) di jaman awal majapahit wayang digambar di kertas jawi dan sudah dilengkapi dengan berbagai hiasan pakaian masa-masa awal abad sepuluh bisa kita sebut sebagai globalisasi tahap satu ke tanah jawa kepercayaan animisme mulai digeser oleh pengaruh agama hindu yang membuat ‘naik’-nya pamor tokoh ‘dewa’ yang kini ‘ditempatkan’ berada di atas ‘hyang’ abad duabelas sampai abad limabelas adalah masa ‘sekularisasi’ wayang tahap satu dengan mulai disusunnya berbagai mithos yang mengagungkan para raja sebagai keturunan langsung para dewa abad limabelas adalah dimulainya globalisasi jawa tahap dua kini pengaruh budaya islam yang mulai meresap tanpa terasa dan pada awal abad keenambelas berdirilah kerajaan demak ( 1500 – 1550 M )
ternyata banyak kaidah wayang yang berbenturan dengan ajaran islam maka raden patah memerintahkan mengubah beberapa aturan wayang yang segera dilaksanakan oleh para wali secara gotongroyong wayang beber karya prabangkara (jaman majapahit) segera direka-ulang dibuat dari kulit kerbau yang (di wilayah kerajaan demak masa itu, sapi tidak boleh dipotong untuk menghormati penganut hindu yang masih banyak agar tidak terjadi kerusuhan berthema sara . . .
gambar dibuat menyamping, tangan dipanjangkan, digapit dengan penguat tanduk kerbau, dan disimping sunan bonang menyusun struktur dramatika-nya sunan prawata menambahkan tokoh raksasa dan kera dan juga menambahkan beberapa skenario cerita
raden patah menambahkan tokoh gajah dan wayang prampogan sunan kalijaga mengubah sarana pertunjukan yang awalnya dari kayu kini terdiri dari batang pisang, blencong, kotak wayang, dan gunungan sunan kudus kebagian tugas men-dalang ‘suluk’ masih tetap dipertahankan, dan ditambah dengan greget saut dan adha-adha pada masa sultan trenggana bentuk wayang semakin dipermanis lagi mata, mulut, dan telinga mulai ditatahkan (tadinya hanya digambarkan di kulit kerbau tipis) susuhunan ratu tunggal, pengganti sultan trenggana, tidak mau kalah dia ciptakan model mata liyepan dan thelengan
selain wayang purwa sang ratu juga memunculkan wayang gedhog yang hanya digelar di lingkungan dalam keraton saja sementara untuk konsumsi rakyat jelata sunan bonang menyusun wayang damarwulan aman kerajaan pajang memberikan ciri khas baru wayang gedhog dan wayang kulit mulai ditatah tiga dimensi (mulai ada lekukan pada tatahan) bentuk wayang semakin ditata :
raja dan ratu memakai mahkota/topong rambut para satria mulai ditata, memakai praba dan juga mulai ditambahkan celana dan kain di jaman ini pula lah sunan kudus memperkenalkan wayang golek dari kayu sedang sunan kalijaga menyusun wayang topeng dari kisah-kisah wayang gedog dengan demikian wayang gedog pun sudah mulai memasyarakat di luar keratin di masa mataram islam wayang semakin berkembang panembahan senapati menambahkan berbagai tokoh burung dan hewan hutan dan rambut wayang ditatah semakin halus sultan agung anyakrawati menambahkan unsur gerak pada wayang kulit pundak, siku, dan pergelangan wayang mulai diberi sendi posisi tangan berbentuk ‘nyempurit’ dengan adanya inovasi ini muncul pula tokoh baru :
cakil, tokoh raksasa bertubuh ramping yang sangat gesit dan cekatan sultan agung anyakrakusuma, pengganti beliau, ikut menyumbang bentuk mata semakin diperbanyak
dan pada beberapa tokoh dibuat beberapa wanda (bentuk) setelah semua selesai dilaksanakan, diciptakan seorang tokoh baru raksasa berambut merah bertaji seperti kuku yang akhirnya disebut ‘buta prapatan’ atau ‘buta rambutgeni’ berbagai inovasi dan reka-ulang wayang masih terus berlangsung dari jaman mataram islam sampai jaman sekarang
a.l. dengan munculnya ide-ide ‘nyeleneh’ para dhalang berbagai peralatan elektronis mulai ikut berperan dalam tata panggung maupun perangkat gamelan begitu pula dalam hal tata pakaian yang dikenakan oleh ki dhalang, pesinden, maupun para juru karawitan
dalam hal skenario-nya pun senantiasa ada pergeseran sehingga kini sudah semakin sulit dihakimi mana yang cerita ‘pakem’ dan mana ‘carangan’ (cerita tentang asal-usul semar, misalnya, ada beberapa versi yang semuanya layak untuk dipelajari ) tapi siapa sih yang bisa disebut ‘berwenang menghakimi’ ? walau demikian, garis besar struktur dramatika-nya agaknya relatif tetap pathet nem, pathet sanga, lalu pathet manyura relatif standar dan tetap seperti juga mengenai inti filsafatnya sendiri : wayang adalah perlambang kehidupan kita sehari-hari
SEJARAH PEWAYANGAN DI INDONESIA
wayang berasal dari kata wayangan yaitu sumber ilham dalam menggambar wujud tokoh dan cerita sehingga bisa tergambar jelas dalam batin si penggambar karena sumber aslinya telah hilang di awalnya, wayang adalah bagian dari kegiatan religi animisme
menyembah ‘hyang’, itulah inti-nya dilakukan antara lain di saat-saat panenan atau taneman dalam bentuk upacara ruwatan, tingkeban, ataupun ‘merti desa’ agar panen berhasil atau pun agar desa terhindar dari segala di tahun (898 – 910) M
wayang sudah menjadi wayang purwa amun tetap masih ditujukan untuk menyembah para sanghyang seperti yang tertulis dalam prasasti balitung sigaligi mawayang buat hyang, macarita bhima ya kumara terjemahan kasaran-nya kira-kira begini :
menggelar wayang untuk para hyang tentang bima sang kumara)
di jaman mataram hindu ini, ramayana dari india berhasil dituliskan dalam bahasa jawa kuna (kawi) pada masa raja darmawangsa, 996 – 1042 M mahabharata yang berbahasa sansekerta delapan belas parwa dirakit menjadi sembilan parwa bahasa jawa kuna lalu arjuna wiwaha berhasil disusun oleh mpu kanwa di masa raja erlangga sampai di jaman kerajaan kediri dan raja jayabaya mpu sedah mulai menyusun serat bharatayuda yang lalu diselesaikan oleh mpu panuluh tak puas dengan itu saja, mpu panuluh lalu menyusun serat hariwangsa dan kemudian serat gatutkacasraya menurut serat centhini, sang jayabaya lah yang memerintahkan menuliskan ke rontal (daun lontar, disusun seperti kerai, disatukan dengan tali) di jaman awal majapahit wayang digambar di kertas jawi dan sudah dilengkapi dengan berbagai hiasan pakaian masa-masa awal abad sepuluh bisa kita sebut sebagai globalisasi tahap satu ke tanah jawa kepercayaan animisme mulai digeser oleh pengaruh agama hindu yang membuat ‘naik’-nya pamor tokoh ‘dewa’ yang kini ‘ditempatkan’ berada di atas ‘hyang’ abad duabelas sampai abad limabelas adalah masa ‘sekularisasi’ wayang tahap satu dengan mulai disusunnya berbagai mithos yang mengagungkan para raja sebagai keturunan langsung para dewa abad limabelas adalah dimulainya globalisasi jawa tahap dua kini pengaruh budaya islam yang mulai meresap tanpa terasa dan pada awal abad keenambelas berdirilah kerajaan demak ( 1500 – 1550 M )
ternyata banyak kaidah wayang yang berbenturan dengan ajaran islam maka raden patah memerintahkan mengubah beberapa aturan wayang yang segera dilaksanakan oleh para wali secara gotongroyong wayang beber karya prabangkara (jaman majapahit) segera direka-ulang dibuat dari kulit kerbau yang (di wilayah kerajaan demak masa itu, sapi tidak boleh dipotong untuk menghormati penganut hindu yang masih banyak agar tidak terjadi kerusuhan berthema sara . . .
gambar dibuat menyamping, tangan dipanjangkan, digapit dengan penguat tanduk kerbau, dan disimping sunan bonang menyusun struktur dramatika-nya sunan prawata menambahkan tokoh raksasa dan kera dan juga menambahkan beberapa skenario cerita
raden patah menambahkan tokoh gajah dan wayang prampogan sunan kalijaga mengubah sarana pertunjukan yang awalnya dari kayu kini terdiri dari batang pisang, blencong, kotak wayang, dan gunungan sunan kudus kebagian tugas men-dalang ‘suluk’ masih tetap dipertahankan, dan ditambah dengan greget saut dan adha-adha pada masa sultan trenggana bentuk wayang semakin dipermanis lagi mata, mulut, dan telinga mulai ditatahkan (tadinya hanya digambarkan di kulit kerbau tipis) susuhunan ratu tunggal, pengganti sultan trenggana, tidak mau kalah dia ciptakan model mata liyepan dan thelengan
selain wayang purwa sang ratu juga memunculkan wayang gedhog yang hanya digelar di lingkungan dalam keraton saja sementara untuk konsumsi rakyat jelata sunan bonang menyusun wayang damarwulan aman kerajaan pajang memberikan ciri khas baru wayang gedhog dan wayang kulit mulai ditatah tiga dimensi (mulai ada lekukan pada tatahan) bentuk wayang semakin ditata :
raja dan ratu memakai mahkota/topong rambut para satria mulai ditata, memakai praba dan juga mulai ditambahkan celana dan kain di jaman ini pula lah sunan kudus memperkenalkan wayang golek dari kayu sedang sunan kalijaga menyusun wayang topeng dari kisah-kisah wayang gedog dengan demikian wayang gedog pun sudah mulai memasyarakat di luar keratin di masa mataram islam wayang semakin berkembang panembahan senapati menambahkan berbagai tokoh burung dan hewan hutan dan rambut wayang ditatah semakin halus sultan agung anyakrawati menambahkan unsur gerak pada wayang kulit pundak, siku, dan pergelangan wayang mulai diberi sendi posisi tangan berbentuk ‘nyempurit’ dengan adanya inovasi ini muncul pula tokoh baru :
cakil, tokoh raksasa bertubuh ramping yang sangat gesit dan cekatan sultan agung anyakrakusuma, pengganti beliau, ikut menyumbang bentuk mata semakin diperbanyak
dan pada beberapa tokoh dibuat beberapa wanda (bentuk) setelah semua selesai dilaksanakan, diciptakan seorang tokoh baru raksasa berambut merah bertaji seperti kuku yang akhirnya disebut ‘buta prapatan’ atau ‘buta rambutgeni’ berbagai inovasi dan reka-ulang wayang masih terus berlangsung dari jaman mataram islam sampai jaman sekarang
a.l. dengan munculnya ide-ide ‘nyeleneh’ para dhalang berbagai peralatan elektronis mulai ikut berperan dalam tata panggung maupun perangkat gamelan begitu pula dalam hal tata pakaian yang dikenakan oleh ki dhalang, pesinden, maupun para juru karawitan
dalam hal skenario-nya pun senantiasa ada pergeseran sehingga kini sudah semakin sulit dihakimi mana yang cerita ‘pakem’ dan mana ‘carangan’ (cerita tentang asal-usul semar, misalnya, ada beberapa versi yang semuanya layak untuk dipelajari ) tapi siapa sih yang bisa disebut ‘berwenang menghakimi’ ? walau demikian, garis besar struktur dramatika-nya agaknya relatif tetap pathet nem, pathet sanga, lalu pathet manyura relatif standar dan tetap seperti juga mengenai inti filsafatnya sendiri : wayang adalah perlambang kehidupan kita sehari-hari
menyembah ‘hyang’, itulah inti-nya dilakukan antara lain di saat-saat panenan atau taneman dalam bentuk upacara ruwatan, tingkeban, ataupun ‘merti desa’ agar panen berhasil atau pun agar desa terhindar dari segala di tahun (898 – 910) M
wayang sudah menjadi wayang purwa amun tetap masih ditujukan untuk menyembah para sanghyang seperti yang tertulis dalam prasasti balitung sigaligi mawayang buat hyang, macarita bhima ya kumara terjemahan kasaran-nya kira-kira begini :
menggelar wayang untuk para hyang tentang bima sang kumara)
di jaman mataram hindu ini, ramayana dari india berhasil dituliskan dalam bahasa jawa kuna (kawi) pada masa raja darmawangsa, 996 – 1042 M mahabharata yang berbahasa sansekerta delapan belas parwa dirakit menjadi sembilan parwa bahasa jawa kuna lalu arjuna wiwaha berhasil disusun oleh mpu kanwa di masa raja erlangga sampai di jaman kerajaan kediri dan raja jayabaya mpu sedah mulai menyusun serat bharatayuda yang lalu diselesaikan oleh mpu panuluh tak puas dengan itu saja, mpu panuluh lalu menyusun serat hariwangsa dan kemudian serat gatutkacasraya menurut serat centhini, sang jayabaya lah yang memerintahkan menuliskan ke rontal (daun lontar, disusun seperti kerai, disatukan dengan tali) di jaman awal majapahit wayang digambar di kertas jawi dan sudah dilengkapi dengan berbagai hiasan pakaian masa-masa awal abad sepuluh bisa kita sebut sebagai globalisasi tahap satu ke tanah jawa kepercayaan animisme mulai digeser oleh pengaruh agama hindu yang membuat ‘naik’-nya pamor tokoh ‘dewa’ yang kini ‘ditempatkan’ berada di atas ‘hyang’ abad duabelas sampai abad limabelas adalah masa ‘sekularisasi’ wayang tahap satu dengan mulai disusunnya berbagai mithos yang mengagungkan para raja sebagai keturunan langsung para dewa abad limabelas adalah dimulainya globalisasi jawa tahap dua kini pengaruh budaya islam yang mulai meresap tanpa terasa dan pada awal abad keenambelas berdirilah kerajaan demak ( 1500 – 1550 M )
ternyata banyak kaidah wayang yang berbenturan dengan ajaran islam maka raden patah memerintahkan mengubah beberapa aturan wayang yang segera dilaksanakan oleh para wali secara gotongroyong wayang beber karya prabangkara (jaman majapahit) segera direka-ulang dibuat dari kulit kerbau yang (di wilayah kerajaan demak masa itu, sapi tidak boleh dipotong untuk menghormati penganut hindu yang masih banyak agar tidak terjadi kerusuhan berthema sara . . .
gambar dibuat menyamping, tangan dipanjangkan, digapit dengan penguat tanduk kerbau, dan disimping sunan bonang menyusun struktur dramatika-nya sunan prawata menambahkan tokoh raksasa dan kera dan juga menambahkan beberapa skenario cerita
raden patah menambahkan tokoh gajah dan wayang prampogan sunan kalijaga mengubah sarana pertunjukan yang awalnya dari kayu kini terdiri dari batang pisang, blencong, kotak wayang, dan gunungan sunan kudus kebagian tugas men-dalang ‘suluk’ masih tetap dipertahankan, dan ditambah dengan greget saut dan adha-adha pada masa sultan trenggana bentuk wayang semakin dipermanis lagi mata, mulut, dan telinga mulai ditatahkan (tadinya hanya digambarkan di kulit kerbau tipis) susuhunan ratu tunggal, pengganti sultan trenggana, tidak mau kalah dia ciptakan model mata liyepan dan thelengan
selain wayang purwa sang ratu juga memunculkan wayang gedhog yang hanya digelar di lingkungan dalam keraton saja sementara untuk konsumsi rakyat jelata sunan bonang menyusun wayang damarwulan aman kerajaan pajang memberikan ciri khas baru wayang gedhog dan wayang kulit mulai ditatah tiga dimensi (mulai ada lekukan pada tatahan) bentuk wayang semakin ditata :
raja dan ratu memakai mahkota/topong rambut para satria mulai ditata, memakai praba dan juga mulai ditambahkan celana dan kain di jaman ini pula lah sunan kudus memperkenalkan wayang golek dari kayu sedang sunan kalijaga menyusun wayang topeng dari kisah-kisah wayang gedog dengan demikian wayang gedog pun sudah mulai memasyarakat di luar keratin di masa mataram islam wayang semakin berkembang panembahan senapati menambahkan berbagai tokoh burung dan hewan hutan dan rambut wayang ditatah semakin halus sultan agung anyakrawati menambahkan unsur gerak pada wayang kulit pundak, siku, dan pergelangan wayang mulai diberi sendi posisi tangan berbentuk ‘nyempurit’ dengan adanya inovasi ini muncul pula tokoh baru :
cakil, tokoh raksasa bertubuh ramping yang sangat gesit dan cekatan sultan agung anyakrakusuma, pengganti beliau, ikut menyumbang bentuk mata semakin diperbanyak
dan pada beberapa tokoh dibuat beberapa wanda (bentuk) setelah semua selesai dilaksanakan, diciptakan seorang tokoh baru raksasa berambut merah bertaji seperti kuku yang akhirnya disebut ‘buta prapatan’ atau ‘buta rambutgeni’ berbagai inovasi dan reka-ulang wayang masih terus berlangsung dari jaman mataram islam sampai jaman sekarang
a.l. dengan munculnya ide-ide ‘nyeleneh’ para dhalang berbagai peralatan elektronis mulai ikut berperan dalam tata panggung maupun perangkat gamelan begitu pula dalam hal tata pakaian yang dikenakan oleh ki dhalang, pesinden, maupun para juru karawitan
dalam hal skenario-nya pun senantiasa ada pergeseran sehingga kini sudah semakin sulit dihakimi mana yang cerita ‘pakem’ dan mana ‘carangan’ (cerita tentang asal-usul semar, misalnya, ada beberapa versi yang semuanya layak untuk dipelajari ) tapi siapa sih yang bisa disebut ‘berwenang menghakimi’ ? walau demikian, garis besar struktur dramatika-nya agaknya relatif tetap pathet nem, pathet sanga, lalu pathet manyura relatif standar dan tetap seperti juga mengenai inti filsafatnya sendiri : wayang adalah perlambang kehidupan kita sehari-hari
Langganan:
Postingan (Atom)