Jumat, 13 April 2012

SEJARAH TARI TANGGAI

Sejarah tua Sumatera Selatan serta masuknya para pendatang dari wilayah lain, telah menjadikan kota ini sebagai Kota multi-budaya. Sempat kehilangan fungsi sebagai pelabuhan besar, penduduk kota ini lalu mengadopsi Budaya Melayu pesisir.

Tari Tradisi adalah tari yang berkembang secara turun temurun dan tetap eksis hingga saat ini, memiliki Fakem dan merupakan cirri dari daerah itu sendiri.
Pada abad ke V (1920) pada zaman Hindu, Tari Tanggai dipakai untuk Persembahan kepada Dewa Brahmana, Wisnu, dan Siwa, yang dipersembahkan atau di tarikan oleh para perempuan dengan jumlah ganjil, khususnya Tari Tanggai di persembahkan untuk penghormatan kepada Sahyang widi atau Dewa Siwa yang dianggap sebagai Dewa Pelebur.
Penghormatan kepada dewa-dewa dengan mengadakan persembahan gerakan-gerakan Mudra (pendekatan yang maha kuasa).

Tari tanggai adalah tari yang memakai Tanggai dengan mengutamakan kelentikan Jari-jari tangan yang melambangkan kasih sayang. Oleh orang hindu bagian jari sangat dimuliakan terutama Mahendi (ukiran-ukiran di tangan)
Tanggai dibuat dari Emas murni 22 karat berupa kuku lentik.
Abad 20 (1920) Zaman Belanda, habitat di Indonesia merupakan suatu bentuk kerajaan.
Abad 17 (1600) zaman belanda mendirikan Kesultanan Palembang Darussalam, zaman Gadis Pingitan. Sultannya mengharamkan Gadis/ Perempuan menari, sehingga seluruh pertunjukan diperankan oleh laki-laki. Demang , Pesirah, Depati adalah nama Jabatan yg diberikan oleh belanda, kemudian Belanda tertarik dengan tari yang memakai tanggai
Tahun 1920 di Sumatera Selatan Tarian menggunakan Tanggai dan Sekapur Sirih yang berfungsi sebagai Tari Sambut yang di namakan Tari Tepak.

Beralih ke Zaman Jepang.
1945 tari tanggai tidak boleh ditampilkan, diciptakan tari gending Sriwijaya.
Penata Tarian ini adalah Putri Residen Palembang Sukainah Rozak atas Permintaan Jepang menciptakan Tari Gending Sriwijaya.
Syair Gending Sriwijaya diciptakan oleh Nungcik AR, dan Musik Gending Sriwijaya di ciptakan oleh Dahlan Mahibat.
Tahun 1965 terjadi pemberontakan PKI dan pencipta syair Nung Cik AR disinyalir merupakan anggota PKI hingga Nungcik AR ditangkap, dan Tari Gending Sriwijaya pada saat itu tidak boleh ditampilkan.
Namun banyaknya Tamu-tamu terhormat, dan pejabat-pejabat Negara yang datang ke Palembang, dan tidak ada tarian penyambutan untuk menyambut tamu-tamu tersebut yang datang, maka ibu Elly Rudi (tari tanggai) dan ibu Ana Kumari (tari tepak keraton) mengangkat kembali dan menyusun gerakan-gerakan dengan gerakan tarian yang telah ada sebelumnya, untuk penghormatan tamu tamu yang datang ke Palembang , dan tari nya diberi Koreografi sehingga terdapat Estetika yang tinggi pada tarian tersebut.
Musik Blash, Tanjidor adalah Musik yang digunakan dalam Tari Tanggai pada zaman dahulu.
Tari Tanggai dan Rasan Tuo (perjodohan) tarian untuk mengiringi Pengantin.
Tari Tepak Keraton (memakai tanggai dan Tepak), lambang ungkapan Persahabatan untuk menghormati tamu-tamu terhormat, pada zaman belanda, dengan persembahan sekapur sirih. Menjadi Tari Tradisi di Sumatera Selatan.
Namun Tarian ini berkembang ke daerah masing-masing di Sumatera Selatan dengan versi nama Tari sendiri tetapi tetap menggunakan tanggai dan kostum yang awal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar