Jumat, 13 April 2012

CERITA RAKYAT SI PAHIT LIDAH

Namanya Serunting. Ia adalah pangeran dari Kerajaan Sumidang, tetapi ia lebih dikenal dengan Si Pahit Lidah. Apakah lidahnya pahit? Tidak tentu saja. Ia mendapat julukan itu karena apapun kalimat yang dia ucapkan akan berubah menjadi kutukan.

Si Pahit Lidah memperoleh kesaktiannya setelah bersemedi selama bertahun-tahun di Bukit Siguntang. Ia bersemedi sampai tubuhnya ditutupi oleh lumut. Begitu kaluar dari persemediannya, ia mengutuk semua orang yang ia temui menjadi batu. Ia cukup berkata “jadilah batu”, maka benda di hadapannya akan seketika berubah menjadi batu.

Pada suatu hari Si Pahit Lidah terperangkap dalam sebuah buku, yaitu buku dongeng untuk anak. Ia tak pernah bisa keluar dari buku itu, tetapi ia tahu jika ada orang yang membaca bukunya. Bertahun-tahun Si Pahit Lidah terperangkap, jika tak ada yang membaca buku tersebut, ia hanya tidur. Kadang tiba-tiba ia terbangun karena ada yang membuka bukunya, lalu ia melihat sekelompok anak-anak sedang mendengarkan dongeng tentang dirinya. Pada kesempatan lain ia terbangun di tempat yang berbeda. Begitu seterusnya sampai pada suatu hari ia berada di perpustakaan sebuah Taman Kanak-Kanak.

Di tempat yang baru ini, Si Pahit Lidah tak bisa tidur, seorang anak selalu membolak-balik halaman bukunya. Gadis ini bahkan meminjam dirinya untuk dibawa pulang ke rumah. Karena penasaran, Si Pahit Lidah mengamati anak itu. Ia adalah seorang gadis kecil yang pendiam, matanya tajam, rambutnya ikal, dan kulitnya kecoklatan. Akan tetapi anak itu cantik, sangat cantik. Si Pahit Lidah sangat senang melihat kecantikan anak itu, juga tatapan matanya yang terkagum-kagum membaca kisah tentang dirinya. Ia ingin menyapanya, tetapi ia tak bisa.

Pada suatu hari, Si Pahit Lidah mendengar keributan. Tampaklah segerombolan anak laki-laki tengah mengganggu si gadis kecil, buku dan alat tulisnya berhamburan di lantai, juga buku dongengnya, itulah kenapa Si Pahit Lidah bisa mendengar keributan yang ada. Anak kecil itu tidak membalas meski teman-temannya memaki-maki dirinya. Dengan gugup ia mengambil peralatan tulisnya dan memasukkan ke dalam tas. Anak lelaki itu terus mengejeknya. Si Pahit lidah geram melihatnya. Ia ingin sekali mengutuk anak-anak itu menjadi batu, tetapi buku dongeng tiba-tiba tertutup dan dia tak bisa mendengar apa-apa lagi.

Tak biasanya saat buku tertutup Si Pahit Lidah tak bisa tidur. Ia terus memikirkan gadis kecil itu. Ia kasihan melihatnya. Lalu si Pahit Lidah berdoa agar ia bisa keluar dari buku, ia berjanji hanya akan menggunakan kesaktiannya untuk kebaikan. Tuhan mengabulkan doanya. Malam itu ketika gadis kecil membuka buku dongengnya, Si Pahit Lidah keluar dari buku. Gadis itu terpekik takut, refleks ia bersembunyi di bawah meja belajarnya.

“Keluarlah! Aku ingin jadi temanmu”, kata Si Pahit Lidah.

“Kau tidak akan mengutukku?” gadis kecil bertanya dari bawah meja.

“Tidak, aku hanya akan menggunakan kutukanku untuk kebaikan”, jawab pahit lidah.

Lalu keduanya berteman. Gadis itu bernama Valya. Ia menceritakan kepada Pahit Lidah bahwa ia selalu diejek teman-temannya. Ia ingin sekali memiliki kesaktian seperti Si Pahit Lidah untuk membalas teman-temannya.

Akan tetapi Si Pahit Lidah melarang sang gadis kecil untuk balas dendam kepada teman-temannya.

“Kita tak boleh membalas kejahatan dengan kejahatan pula. Justru sebaliknya, balaslah kejahatan-kejahatan mereka dengan kebaikan-kebaikan yang ada pada dirimu!”

“Mengapa Pahit Lidah? Bukankah engkau pun begitu terhadap semua orang yang bahkan tak berdosa padamu?”

“Iya, itu dulu ketika aku baru mendapatkan ilmu sakti yang kuperoleh selama bertahun-tahun bertapa di bawah pohon bambu. Tapi setelah aku terperangkap dalam sebuah buku dongeng, aku mulai sadar dan berhenti untuk mengutuk siapapun. Oleh karena itu aku dapat hadir di hadapanmu gadis manis.” Suasana hening sesaat sang gadis menatap dalam sang Pahit Lidah.

“Pahit Lidah, bolehkah aku bertanya padamu?”

“Tentang apa itu gadis manis?”, sahut Si Pahit Lidah seraya merangkul tubuh mungil itu.

“Mengapa kau selalu mengutuk setiap orang yang kau lalui, padahal mereka kan tidak punya salah?”

“Hmm, itu sajakah yang ingin kau tanyakan padaku?”

Si gadis Manis hanya mengangguk sambil tersenyum manja.

“Karena aku sakit hati dengan saudara iparku yang bernama Aria Tebing dan isteriku sendiri.”

“Mengapa engkau sakit hati dengan mereka?”, sela gadis itu dengan nada penasaran sebelum Pahit Lidah meneruskan ceritanya.

“Hmm, aku sakit hati karena telah dikhianati oleh isteriku akan kelemahan diriku.”

“Ohh kasihan engkau Pahit Lidah, aku tak menyangka seorang isterimu bisa mengkhianati suaminya sendiri.“

“Begitulah kehidupan sayang, tak semua orang itu baik hatinya. Mungkin kau pernah mendengar pepatah dalamnya laut bisa kau ukur, tapi dalamnya hati siapa yang tahu?“

“Iya Pahit Lidah, teman-temanku tak ada yang baik. Mereka jahat semua, makanya aku ingin memberi pelajaran buat mereka.”

“Jangan sayang! Kau ingin tahu mengapa aku bisa berada dihadapanmu sekarang?”

“Kenapa?”

“Karena aku telah bersumpah dan memohon kepada Tuhan, jika aku bisa keluar dari buku dongeng yang kau genggam sekarang itu aku akan menggunakan kekuatanku untuk hal-hal yang baik saja.”

“Kenapa? Apakah kau sudah bosan mengutuk mereka dengan kesaktianmu?”

“Oh, tidak gadis manis. Bukan itu yang kuinginkan, aku hanya..”, Si Pahit Lidah terdiam sejenak.

“Hanya apa?”

“Aku hanya ingin menemanimu sayang, disaat teman-temanmu menjahati dan menjauhi dirimu. Aku tak tega mendengar teriak tangisan kecilmu.”

“Niatmu tulus, Pahit Lidah.”

“Dari mana kau tahu aku tulus?”

“Karena Tuhan mengabulkan doamu.”

“Anak pintar, jadi tak perlu lagi aku berusaha membuatmu percaya padaku bahwa aku tulus ingin menemanimu.”

“Oh ya Pahit Lidah, bolehkah aku bertanya satu lagi padamu?”

“Apa itu, manis?”, sahut Pahit Lidah seraya merenggangkan rangkulan tangannya dari tubuh gadis itu.

“Hmm, aku pernah membaca sedikit tentang kebaikan-kebaikanmu Pahit Lidah. Dan sekarang aku ingin mendengar dari mulutmu sendiri.”

“Baiklah gadis manis. Dahulu aku pernah menolong sepasang suami isteri yang sudah lanjut usia, bahkan ompong untuk bisa memiliki seorang anak.“

“Sungguh?”, sambar gadis itu dengan menatap tajam mata Si Pahit Lidah. Si Pahit Lidah hanya mengangguk membalas tatapan gadis kecilnya.

“Sekarang sudah malam, waktunya kau tidur. Esok kau harus pergi ke sekolah”, kata Si Pahit Lidah sambil mengelus kepala bocah yang mengangguk hendak beranjak ke tempat tidur.

Malam itu terasa panjang bagi gadis manis yang bernama Valya. Ia merasa senang bisa berhadapan langsung dengan Si Pahit Lidah, entah itu mimpi atau nyata.

Pesan moral :

* Jangan terlalu percaya kepada orang lain,

* Jangan membalas kejahatan dengan kejahatan pula,tetapi balaslah kejahatan itu dengan kebaikan

* Gunakan kelebihan yang kita punya untuk kebaikan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar